Sosiolog UMM: Fenomena Mengemis Daring di Medsos Berdampak Buruk

Yang melatarbelakangi maraknya mengemis daring adalah kemajuan teknologi.

Pengemis - ilustrasi
Rep: Wilda Fizriyani Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Mengemis daring semakin marak di berbagai media sosial apalagi setela salah satu akun Tiktok bernama TM Mud Bath menuai banyak kritik dari warganet karena siaran langsung yang berisi mandi lumpur. Dalam konten itu juga melibatkan lansia yang membuat masyarakat iba dan berujung memberikan hadiah.


Merespons maraknya konten tersebut, Kepala Prodi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari menilai, mengemis daring termasuk fenomena yang membuat resah masyarakat. Fenomena tersebut juga dirasa miris karena baisanya meminta belas kasih orang lain secara luring. "Kini malah muncul di dunia maya," kata Luluk dalam siaran pers, Ahad (29/1/2023).

Luluk menjelaskan, yang melatarbelakangi maraknya mengemis daring dikarenakan kemajuan teknologi. Terlebih media sosial memberi kebebasan dan kemudahan kepada manusia untuk mengespresikan dirinya untuk tujuan apa pun, termasuk mencari uang. Kedua, kemiskinan dan tuntutan yang semakin tinggi yang berakibat mendorong seseorang untuk mencari cara instan mendapatkan keuntungan. 

Mengemis daring dianggap solusi tepat menurut mereka karena mendapatkan uang yang berasal dari pemberian warganet. Ketiga, karena ada kesempatan di mana tidak adanya batasan tegas dari pihak media sosial dalam memilih dan memilah konten mana yang boleh dipublikasi dan tidak.

Keempat adalah persepsi masyarakat tentang konten hiburan yang sudah bergeser. Dulu, definisi hiburan adalah menyenangkan dan tidak menyusahkan orang lain. Namun sekarang konten menyusahkan orang lain bisa dianggap sebagai hiburan. 

"Kemudian yang kelima adalah belum adanya perlindungan terhadap kelompok rentan sehingga kelompok rentan sering menjadi sasaran eksploitasi," ucap Luluk dalam pesan resmi yang diterima Republika.

Semakin lunturnya nilai, etika, adat ketimuran terutama di kalangan generasi mudanya juga menjadi latar belakang yang kuat. Terakhir, yakni faktor budaya masyarakat Indonesia yang suka menolong dan punya belas kasihan tinggi. Hal ini memang tidak salah namun seringkali masih bisa dimainkan oleh kelompok tertentu.

Luluk juga mengatakan, Indonesia pada 21 Oktober 2022 lalu didaulat sebagai negara paling dermawan nomor pertama di dunia dengan jumlah presentase 68 persen oleh World Giving Index (WGI) 2022. Adanya label tersebut menjadi faktor pendukung lain terjadinya fenomena mengemis daring.

Masyarakat Indonesia memang dikenal mempunyai keramahan, kepedulian dan jiwa sosial tinggi. Di sisi lain, Indonesia memiliki salah satu desa yang dikenal dengan desa pengemis tetapi hidup masyarakatnya makmur. "Tapi kemakmuran mereka tidak menghentikan aksi. Nah, harusnya masyarakat Indonesia bisa lebih bijak, berpikir rasional dan bertindak dengan tegas," katanya.

Menurut Luluk, mengemis daring yang menjamur di media sosial sebagian besar melakukan ekspoitasi terhadap kelompok rentang, termasuk lansia. Fenomena ini termasuk  konten yang tidak pantas dan memberikan dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Sebab, konten tersebut mengajarkan konteks eksploitasi anak muda terhadap orang tua. 

Mengemis daring berarti seseorang mendapat keuntungannya dari hadiah (gift). Maka apabila kontennya tidak mendidik, masyarakat tidak perlu memberikan hadiah kepada mereka. Kalau masyarakat tahu ada konten yang sifatnya eksploitasi, maka segera laporkan saja ke pihak yang berewang.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler