Catatan Refleksi 76 Tahun HMI, Keluar dari Tempurung

Usia 76 tahun menjadi momentum HMI semakin berjaya

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) (ilustrasi). Usia 76 tahun menjadi momentum HMI semakin berjaya
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Raihan Ariatama, Ketua Umum PB HMI Periode 2021-2023

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Tepat pada 5 Februari 2023, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menapaki usia 76 tahun. Apa makna usia 76 ini bagi HMI dan apa yang harus dan perlu dilakukan HMI dalam usianya yang sudah tidak lagi belia ini? 

Baca Juga


Tulisan ini dimaksudkan sebagai catatan reflektif saya selama memimpin organisasi yang telah melahirkan banyak kader umat dan bangsa yang ulung, yang berkiprah di semua sektor kehidupan di negeri ini.

Usia bukan sekadar angka, ia menyimpan guratan perjalanan, merekam tumpukan kenangan dan memotret mozaik peristiwa-peristiwa penting yang menyertainya. Demikian juga dengan HMI. Sepanjang 76 tahun usia HMI merupakan perjalanan panjang bergulat dengan seluk beluk persoalan negeri, berkiprah untuk ibu pertiwi.

Lahir dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia dengan diprakarsai Lafran Pane, HMI telah meneguhkan dirinya sebagai anak kandung republik, dengan komitmen keislaman dan keindonesiaan yang selaras. 

Dua komitmen ini mewarnai sikap HMI dalam menghadapi berbagai turbulensi sosial, politik, dan ekonomi di negeri ini, sehingga HMI selalu mampu keluar dari turbulensi tersebut. Tidak berlebihan jika saya menyatakan bahwa genetika HMI adalah keislaman dan keindonesiaan.

Meskipun sudah menapaki usia yang tidak lagi muda, tidak berarti HMI terlepas dari berbagai persoalan yang mendera. Bagi HMI, persoalan adalah sunnatullah yang selalu ada di tiap masa, yang harus diterima dan dikelola dengan baik. 

Apalagi, dari waktu ke waktu, jumlah cabang HMI bertambah, tidak hanya di dalam negeri melainkan juga di luar negeri, yang berarti menambah kompleksitas persoalan di himpunan. Mengelola persoalan adalah bagian dari kaderisasi HMI. Kedewasaan berpikir dan bersikap dari kader dapat diukur, salah satunya, dengan sejauh mana kader tersebut mengelola persoalan.

Pusaran pergolakan internal 

Gejala dalam beberapa dekade terakhir, HMI terjebak dalam pusaran pergolakan internal, yang disibukkan dengan mengurus rumah tangganya sendiri ketimbang merespons persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan mutakhir.

Gejolak internal himpunan kerap kali berujung konflik, bahkan berakhir pada dualisme kepengurusan. Gejolak internal ini tidak hanya terjadi pada kepengurusan tingkat nasional, melainkan juga di tingkat badan koordinasi (provinsi) dan cabang (kabupaten/kota). 

Baca juga: 4 Sosok Wanita yang Bisa Mengantarkan Seorang Mukmin ke Surga, Siapa Saja?  

Fenomena ini tidak hanya khas HMI, tetapi juga terjadi di banyak organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Alhasil, HMI sibuk bergumul dengan dirinya sendiri sehingga melewatkan momentum penting kebangsaan dan mengabaikan isu-isu strategis keislaman dan keindonesiaan, termasuk absennya gagasan pembaharuan pemikiran Islam di dalam tubuh himpunan. 

Apa sebab gejolak internal yang tak berkesudahan tersebut? Saya menganalisis dua faktor penyebab. Pertama adalah mentalitas konflik telah menjadi kultur yang menubuh dalam organ tubuh himpunan.

Pembentukan mentalitas konflik ini terjadi dalam waktu yang cukup lama, di mana eskalasi kontestasi politik internal tidak disertai dengan kedewasaan berpikir dan kematangan bersikap. Dampaknya adalah ngotot dengan pilihannya masing-masing sehingga terjadi kebuntuan titik temu.  

 

Penyebab kedua adalah relasi patronase yang menjerat himpunan. Kontestasi politik internal di HMI sering kali bukan sekadar kompetisi antar kader, melainkan juga kompetisi antar alumni HMI, sehingga menambah kompleksitas anatomi konflik internal himpunan. Akibatnya, gejolak politik internal bertransformasi menjadi konflik internal yang menahun, yang mengganggu produktivitas organisasi.

Kesadaran baru

Apa yang bisa dilakukan HMI agar tidak terjebak dalam pusaran pergolakan internal? Adalah membangun kesadaran baru yang mengedepankan kolaborasi ketimbang konflik, mengutamakan komunikasi ketimbang saling mengintrik, dan mendahulukan menahan diri ketimbang berkonfrontasi.

Membangun kesadaran baru di himpunan dapat ditempuh dengan membentuk ekosistem keadaban berorganisasi yang ditunjang oleh beberapa unsur, yaitu komunikasi yang empatik, saling memahami hak dan kewajiban, bertindak adil dan rasional serta budaya mengendalikan diri.

Dengan ekosistem keadaban berorganisasi yang terbentuk, maka akan terjadi pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam mengelola organisasi, dari paradigma konflik ke paradigma kolaborasi.

Karena ini menyangkut pembentukan kesadaran, yang berarti satu tarikan nafas dengan pembentukan karakter kader, maka tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek, tetapi dilakukan secara berkesinambungan dalam waktu yang tidak sebentar. Membangun kesadaran baru harus terintegrasi ke dalam kurikulum perkaderan HMI di semua jenjang pelatihan. 

Baca juga: Mualaf Prancis William Pouille, Kecintaannya kepada Arab Saudi Mengantarkannya ke Islam

Dengan kata lain, training-training di HMI diarahkan untuk membangun kesadaran baru tersebut, sehingga mentalitas konflik dapat dikikis secara perlahan dan generasi konflik dapat segera digantikan dengan generasi kolaboratif.

Alhasil, HMI dapat meneguhkan dirinya sebagai organisasi transformatif, yang selalu agile dan adaptif terhadap perubahan serta senantiasa menjadi lentera di tengah kekalutan persoalan bangsa. 

Persoalan kesenjangan ekonomi, kerusakan lingkungan, politik identitas dan lain sebagainya sedang menanti sentuhan pemikiran HMI. Karena itu, momentum dies natalis HMI yang ke-76 ini adalah momentum yang tepat bagi HMI untuk ‘keluar dari tempurung’ pergolakan internal, agar bisa menelurkan gagasan yang cemerlang untuk menyongsong masa depan peradaban bangsa yang lebih maju.     

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler