Analis: Produsen Susu Formula Eksploitasi Kecemasan Orang Tua Terhadap Kesehatan Bayinya

Produsen susu formula dituding membuat klaim menyesatkan, seolah ASI tak cukup.

EPA-EFE/ERIK S. LESSER
Penghentian produksi menyusul penarikan kembali telah mengakibatkan hampir kosongnya rak-rak susu formula bayi di supermarket Kroger di Decatur, Georgia, AS, 11 Mei 2022. Analis menilai produsen susu formula telah memasarkan produknya dengan mengeksploitasi emosi orang tua.
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para analis menilai banyak perusahaan susu formula yang diduga mengeksploitasi emosi orang tua dan "memanipulasi" data ilmiah untuk meningkatkan penjualan produk. Hal itu diungkapkan dalam sebuah analisis baru yang dipublikasikan di The Lancet.

Analisis, yang dipimpin oleh Profesor Nigel Rollins dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu menilai diperlukan tindakan keras untuk mengatasi klaim menyesatkan yang dibuat oleh industri susu formula. Tahun lalu, terjadi krisis susu formula di Amerika Serikat (AS) yang menyebabkan para orang tua kesulitan mendapatkan produk di pasaran.

Baca Juga


Kondisi krisis itu dipicu setelah produsen Abbott menarik produk secara besar-besaran, setelah ada laporan dua bayi meninggal. Menurut rekan penulis studi, dr Cecília Tomori, telah ditemukan pengaruh besar dari produsen susu formula terhadap orang tua yang memiliki bayi.

"Sistem pengaruh yang melibatkan perusahaan susu formula komersial, jauh lebih meresap dan berpengaruh bagi daripada yang diperkirakan sebelumnya," kata Tomori yang merupakan ahli laktasi dan profesor di Johns Hopkins School of Nursing.

Berikut bebeapa fakta yang perlu diketahui ibu menyusui:
Bukti ilmiah sangat mendukung manfaat menyusui bayi baru lahir, jika memungkinkan dan diinginkan. Menyusui memiliki manfaat kesehatan yang terbukti baik bagi ibu dan bayi.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), bayi yang disusui memiliki risiko penyakit lebih rendah termasuk asma, obesitas, diabetes tipe 1, dan sindrom kematian bayi mendadak.

Bayi juga dapat menerima antibodi dari air susu ibu (ASI), yang bermanfaat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu melindungi mereka dari penyakit. Sementara itu, menyusui juga menurunkan risiko kanker payudara, ovarium, diabetes tipe 2, serta tekanan darah tinggi (hipertensi) pada ibu.

Penulis studi mengatakan banyak ibu baru yang mampu menyusui, namun memilih untuk tidak melakukannya. Menurut analis, produsen susu formula menggunakan taktik eksploitatif untuk menjual produk seperti memanfaatkan kekhawatiran orang tua terhadap kesehatan dan perkembangan bayi mereka.

Misalnya, produsen produk menyatakan susu formula bisa membantu orang tua mengatasi tidur yang terganggu dan atau meredakan tangisan bayi. Hal itu dinilai seolah menyiratkan bahwa ASI saja tidak cukup.

Industri susu formula menggunakan sains yang buruk untuk promosi, dengan sedikit bukti pendukung. Produk mereka kerap dikatakan sebagai solusi untuk tantangan kesehatan dan perkembangan bayi.

Rekan penulis Profesor Linda Richter, dari Wits University di Afrika Selatan, juga mengatakan bahwa iklan susu formula sering kali dibalut dengan manfaat untuk mengatasi kerewelan, kolik, memperpanjang waktu tidur malam, dan bahkan mendorong kecerdasan yang unggul. Iklan susu formula akan menawarkan manfaat produk dengan penggunaan kata kunci seperti "otak", "neuro", dan"IQ" yang menyoroti pertumbuhan awal.

"Padahal, penelitian menunjukkan tidak ada manfaat dari bahan produk ini pada kinerja akademik atau kognisi jangka panjang," kata Richter, seperti dikutip dari ABC News, Kamis (9/2/2023).

Analisis juga menduga bahwa perusahaan susu formula menggunakan iklan untuk menyiratkan bahwa susu formula adalah pilihan yang "memberdayakan" bagi ibu bekerja. Ibu bekerja sering kali dianggap tidak memiliki cukup waktu atau dukungan menyusui dari tempat kerja mereka.

Para penulis pun menyerukan gerakan masyarakat yang lebih luas untuk membantu mengimbangi perilaku eksploitatif perusahaan susu formula. Upaya itu termasuk mengajukan cuti hamil yang memadai bagi ibu pekerja.

Tim peneliti mengajukan permohonan agar pemerintah dan tempat kerja dapat mengakui pentingnya menyusui. Hal itu bisa melalui kebijakan seperti memperpanjang durasi cuti hamil berbayar agar selaras dengan durasi enam bulan yang direkomendasikan WHO untuk pemberian ASI eksklusif.

Para analis juga merekomendasikan agar sistem perawatan kesehatan mempromosikan pemberian ASI dan mendukung perempuan untuk membantu mereka dengan bantuan menyusui selama kehamilan, persalinan, dan setelahnya. Tomori mengingatkan bahwa menyusui adalah tanggung jawab sosial kolektif, dan juga hak asasi manusia.

Semua pihak perlu bersatu sebagai masyarakat. Begitu juga pembuat kebijakan, mereka harus paham urgensi dengan berinvestasi dan mendanai struktur yang benar-benar mendukung kegiatan menyusui.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler