Dasar Pertimbangan Polri Putuskan tak Pecat Richard Eliezer

Sidang KKEP memutuskan Richard Eliezer disanksi mutasi-demosi satu tahun.

Republika/Putra M. Akbar
Bharada Richard Eliezer (kedua kanan) berjalan usai menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terkait kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di TNCC Mabes Polri, Jakarta, Rabu (22/2/2023). Hasil sidang tersebut memutuskan Bharada E ditetapkan masih menjadi anggota Polri dengan hukuman berupa sanksi administrasi mutasi bersifat demosi selama satu tahun.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Fauziah Mursid

Baca Juga


Bharada Richard Eliezer (RE) akhirnya tetap bisa berkarier di kepolisian. Kepastian itu setelah Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap terpidana kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) itu hanya memberikan sanksi berupa mutasi-demosi selama satu tahun, meski perbuatan Richard sebagai pelaku pembunuhan Brigadir J sebagai perbuatan tercela dan tak terpuji.

“Komisi Kode Etik Polri selaku pejabat berwenang dalam pertimbangannya berpendapat, bahwa pelanggar Bharada Richard Eliezer Pudihang Limiu masih dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan membacakan hasil sidang KKEP, di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (22/2/2023). 

Sidang KKEP terhadap Richard berlangsung selama 7 jam 22 menit. Forum KKEP terhadap Richard, dikomandoi oleh ketua sidang Komisaris Besar (Kombes) Sakeus Ginting, dua anggota komisi sidang lainnya, Kombes Imam Thobroni, dan Kombes Hengky Widjaja.

Dalam persidangan internal tersebut, delapan saksi dihadirkan, termasuk Ferdy Sambo, Kuat Maruf, dan Bripka Ricky Rizal. Namun, ketiga saksi itu tak dihadirkan langsung, dan cuma memberikan kesaksian lewat keterangan tertulis.

Adapun lima saksi lainnya, adalah Kombes MBP, AKP DC, Iptu JA, Ipda AM, dan Ipda S. Akan tetapi, dari lima saksi tersebut, cuma tiga saksi yang dihadirkan langsung.

“Saksi Kombes MBP, dan saksi Iptu JA dalam kondisi sakit. Sehingga tidak dapat dihadirkan sebagai saksi. Namun, tetap memberikan kesaksiannya melalui tertulis dan dibacakan di persidangan KKEP,” kata Ramadhan.

Dari persidangan, menurut Ramadhan, KKEP memutuskan empat hal, dan bentuk sanski terhadap Richard sebagai pelanggar etik. Pertama sanksi yang bersifat etika.

Menurut Ramadhan, sidang KKEP memutuskan, bahwa Richard dinyatakan sebagai pelanggar. “Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela,” kata Ramadhan membacakan vonis etik untuk Richard.

Kedua, Richard sebagai pelanggar diwajibkan untuk meminta maaf kepada sidang KKEP dan Kapolri. Selanjutnya, sidang KKEP juga memberikan hukuman terhadap Richard berupa sanksi administratif.

"Memberikan saksi administratif terhadap pelanggar yaitu mutasi yang bersifat demosi selama satu tahun,” ujar Ramadhan.

Atas putusan tersebut, kata Ramadhan menerangkan, tak ada bantahan dari Richard sebagai pelanggar. “Bahwa yang bersangkutan menerima putusan sidang KKEP ini, dan menyatakan tidak banding,” ujarnya.

Ada delapan pertimbangan sidang KKEP dalam putusannya mempertahankan Richard masih sebagai anggota Korps Bhayangkara. Sidang KKEP mempertimbangkan riwayat Richard yang belum pernah dihukum melakukan pelanggaran.

"Baik pelanggaran disiplin, maupun pelanggaran kode etik, dan juga belum pernah dipidana," kata Ramadhan.

Sidang KKEP juga mempertimbangkan Richard yang mengakui kesalahannya dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Pertimbangan lainnya, kata Ramadhan adalah aspek eksternal atas putusan pidana terhadap Richard.

Dikatakan dalam pertimbangan sidang KKEP, Richard adalah saksi-pelaku atau justice collaborator yang bekerja sama dalam penyidikan dan di persidangan untuk mengungkap peristiwa sebenarnya atas peristiwa pembunuhan Brigadir J. “Di mana pelaku yang lain dalam persidangan pidana berusaha mengaburkan fakta yang sebenarnya dengan berbagai cara, merusak, mengaburkan barang bukti, dan memanfaatkan kekuasaan. Tetapi justeru kejujuran pelanggar dengan berbagai risiko telah turut mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi,” kata Ramadhan.

Sidang KKEP juga memasukkan pertimbangan eksternal lainnya berupa sikap Richard yang meminta maaf kepada keluarga Brigadir J. Dan sikap meminta maaf tersebut, menurut sidang KKEP mendapatkan respons yang positif dari Keluarga Brigadir J dengan ikhlas memberikan maaf terhadap Richard.

Adapun pertimbangan sidang KKEP lainnya dalam mempertahankan Richard sebagai anggota Polri, melihat kadar perbuatan pada saat terjadinya pembunuhan Brigadir J. Ramadhan mengatakan, sidang KKEP dalam pertimbangannya berkesimpulan perbuatan Richard tersebut adalah dalam kondisi terpaksa.

“Semua tindakan yang dilakukan pelanggar, adalah dalam keadaan terpaksa, dan karena tidak benari untuk menolak perintah atasan,” kata Ramadhan.

Richard, sebagai pelanggar, dalam melakukan perbuatan pidana pembunuhan tersebut, atas perintah dan tekanan dari atasannya Ferdy Sambo yang saat itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen). “Pelanggar berpangkat Bharada atau Tamtama Polri tidak berani menolak perintah menembak Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat dari saudara Ferdy Sambo. Karena selain atasan, juga karena jenjang kepangkatan saudara Ferdy Sambo dengan pelanggar yang sangat jauh,” kata Ramadhan menjelaskan.

Tentu saja kata Ramadhan, pertimbangan lain sidang KKEP yang mempertahankan Richard sebagai anggota Polri melihat harapan dan masa depan. “Bahwa pelanggar masih sangat muda. Pelanggar masih berusia 24 tahun dengan kepangkatan Bharada atau Tamtama Polri sehingga masih terbuka kesempatan untuk masa depan yang lebih baik. Dan pelanggar mengakui, dan menyesali atas semua perbuatannya,” ujar Ramadhan.

 

In Picture: Jalani Sidang Etik, Bharada E Dijatuhi Sanksi Administrasi Mutasi

 

Richard adalah personel Brimob, mantan ajudan Ferdy Sambo saat menjabat sebagai kadiv Propam Polri. Richard terbukti bersalah di pengadilan karena turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap rekannya sesama ajudan, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J).

Atas vonis tersebut majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (15/2/2023) menghukum Richard selama 1 tahun 6 bulan penjara. Hukuman ringan tersebut melihat peran Richard sebagai saksi-pelaku atau justice collaborator dalam pengungkapan kasus pembunuhan di Duren Tiga 46 tersebut.

Dalam kasus pembunuhan berencana itu terungkap, Richard membunuh Brigadir J atas perintah dari Ferdy Sambo. Karena itu, Ferdy Sambo pun dihukum oleh pengadilan dengan pidana mati. Sambo pun sudah dipecat dari kepolisian dari sidang KKEP.

Pantas atau tidaknya Eliezer kembali berkarier di Korps Bhayangkara sempat menjadi pro-kontra. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai, meski Eliezer melakukan pelanggaran terbukti ikut dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, kejujurannya menguak kasus tersebut.

"Jadi jangan diberhentikan tidak dengan hormat. Mungkin bisa diberikan sanksi demosi saja kemudian setelah menjalani sanksi dia bisa dikembalikan kepada dinasnya kembali," ujar Sugeng, Jumat (17/2/2023) lalu.

Sugeng mengatakan, mengacu Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 yang kemudian direvisi menjadi Perpol 7/2022, sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bisa dilakukan untuk personel yang mendapatkan ancaman hukuman pidana tahanan lima tahun dan divonis tiga tahun yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

"Karena Eliezer diputus satu tahun enam bulan berada di bawah empat tahun, maka bagi Eliezer bisa untuk dipertimbangkan untuk dipekerjakan kembali," ujar Sugeng.

Senada dengan IPW, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga berharap Eliezer bisa kembali berkarier di kepolisian. Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto mengatakan, aturan tertulis tentang anggota kepolisian yang terbukti melakukan pidana, dan dijatuhi hukuman penjara di bawah dua tahun, dapat dipertahankan sebagai anggota Polri, sebetulnya tak ada.

"Memang aturan yang mengatakan anggota Polri yang melakukan tindak pidana, dan dijatuhi pidana di bawah dua tahun, itu bisa, atau dapat kembali menjadi anggota di Polri, itu nggak ada. Itu dulu, hanya kebijakan lisan, semacam diskresi di era Pak Tito (Kapolri Jenderal Tito Karnavian). Tetapi aturan tertulisnya itu nggak ada. Sampai sekarang, di era Pak Kapolri (Jenderal) Listyo Sigit, juga nggak ada aturan itu,” ujar Wahyu kepada Republika, Jumat (17/2/2023).

Namun, pertimbangan hakim dalam memberikan vonis untuk Richard tersebut, menurut Wahyu, dapat menjadi acuan bagi Polri untuk tetap mempertahankan Richard. Karena menurutnya, meskipun Richard dikatakan hakim terbukti bersalah turut-serta melakukan pembunuhan sesuai dengan dakwaan dan tuntutan jaksa, hakim juga menyatakan perbuatan Richard melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J itu atas dasar perintah dari Sambo.

“Jadi kami dari Kompolnas merekomendasikan kepada Polri agar terhadap, karena sudah terpidana, terhadap terpidana Bharada Eliezer (Richard) ini, tetap bisa dipertahankan sebagai anggota Polri. Dan tetap bisa kembali ke kepolisian setelah menjalani masa pidananya. Tetapi dengan mekanisme yang prosedural melalui sidang kode etik yang dilaksanakan oleh Propam Polri,” kata Wahyu.

Berbeda dengan IPW dan Kompolnas, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyampaikan konsekuensi jika Bharada Richard Eliezer (RE) tidak dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan tetap bergabung dengan Polri. Menurutnya, ini akan membuat Polri dinilai sebagai organisasi penegak hukum yang permisif pada tindak pelanggaran hukum oleh anggotanya.

"Di sisi lain, bila tidak dilakukan PTDH artinya Polri sebagai organisasi penegak hukum akan dianggap permisif pada tindak pelanggaran hukum oleh anggotanya," kata Bambang melalui pesan singkatnya, Jumat (17/2/2023).

Bambang melanjutkan, meskipun Eliezer telah jujur dan berperan menguak kasus pembunuhan yang menyeret Ferdy Sambo, tidak menutup fakta jika Eliezer mematuhi perintah atasan untuk menembak Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

"Perintah atasan yang melanggar hukum tentu harus diabaikan karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan. Artinya, dalam kondisi normal menjalankan perintah atasan tanpa berpikir pada aturan tetap tak bisa dibenarkan pada anggota Brimob sekalipun," ujarnya.

 

Sambo cs Melawan - (Republika/berbagai sumber)

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler