Kelelawar Punya Banyak Virus yang Bahaya Bagi Manusia, Peneliti Sampai 'Bingung'
Uniknya, virus yang ada di tubuh kelelawar tidak berbahaya untuk dirinya sendiri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dibandingkan mamalia lain, kelelawar menampung lebih banyak virus yang berbahaya bagi manusia. Uniknya, virus itu tidak berbahaya bagi diri mereka sendiri. Keanehan tersebut kembali menarik perhatian sejak merebaknya pandemi Covid-19.
Banyak ilmuwan menduga virus corona SARS-CoV-2 ditularkan dari kelelawar ke manusia, entah itu secara langsung atau melalui inang perantara. Para ilmuwan pun mempelajari mengapa hewan terbang tersebut bisa hidup dengan begitu banyak virus.
Terkini, tim peneliti melaporkan keberhasilan mengubah sel kelelawar dewasa menjadi sel punca serbaguna yang dapat digunakan untuk membentuk berbagai jenis jaringan. Kemajuan ilmiah itu dipublikasikan dalam jurnal Cell dan menggemparkan banyak pihak.
"Jika karya dalam makalah ini dapat (dengan mudah) direproduksi dalam kelompok lain dengan spesies kelelawar yang berbeda, dampaknya akan sangat besar," kata peneliti kelelawar virus corona di Duke-NUS Medical School Singapura, Linfa Wang.
Studi awal tentang sel induk kelelawar telah menunjukkan bahwa hewan tersebut dapat menoleransi virus sekaligus membiarkan virus yang ada tetap aktif. Ada kemungkinan karena karena hal itu memiliki beberapa keuntungan bagi inangnya.
Sementara, studi terbaru dimulai pada musim semi 2020, ketika pandemi Covid-19 dimulai. Thomas Zwaka, seorang peneliti sel punca di Fakultas Kedokteran Icahn di Mount Sinai, New York, Amerika Serikat, bertanya-tanya mengapa kelelawar membawa begitu banyak virus. Terlebih, virus itu dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
Kendalanya, para peneliti sulit mendapatkan sampel kelelawar untuk dipelajari di laboratorium. Untuk menghindari masalah itu, Zwaka ingin membuat sel punca kelelawar yang dapat disimpan di laboratorium dan diklasifikasi sesuai kebutuhan, menjadi jenis jaringan tertentu. Beberapa peneliti telah mengeklaim bertahun-tahun sebelumnya telah melakukan ini, tetapi semuanya tidak bisa direproduksi.
Saat studi Zwaka dilakukan, pandemi Covid-19 sedang merebak, sehingga mengirimkan beberapa jaringan kelelawar ke laboratoriumnya juga sukar. Ahli biologi evolusioner di Dewan Riset Nasional Spanyol, Javier Juste, akhirnya setuju untuk mengirim Zwaka beberapa sampel dari koloni kelelawar jenis tapal kuda yang dia pelajari di Seville.
Di laboratoriumnya di New York City, Zwaka kemudian mencoba menggunakan strategi yang dikembangkan pada 2006 oleh peneliti Jepang, Shinya Yamanaka. Cara itu memicu sel mamalia dewasa kembali ke keadaan seperti sel punca.
Akan tetapi, selama ini, formula untuk membuat sel induk berpotensi majemuk (iPS) yang diinduksi ini tidak bekerja pada sampel kelelawar. Setelah berbulan-bulan mengutak-atik formula tersebut, Zwaka dan rekan-rekannya akhirnya menemukan kombinasi faktor yang berhasil.
Beberapa tes, termasuk membedakan sel kelelawar yang berubah menjadi beberapa jenis sel, menunjukkan bahwa itu memang sel berpotensi majemuk. Para peneliti kemudian mengulangi prosedur tersebut dengan sel dari spesies kelelawar yang berbeda, kelelawar bertelinga tikus, dan mendapat hasil serupa.
"Kedua kelelawar itu secara evolusioner sangat jauh. Jadi, keberhasilan ini memberi tahu kami bahwa protokol kami mungkin bekerja dengan banyak kelelawar berbeda," ujar Zwaka.
Dalam mempelajari sel-sel tersebut, tim Zwaka mendapat temuan yang menarik. Virus tertentu dapat menyisipkan versi gennya ke dalam genom sel manusia atau tikus, dan rangkaian virus ini terkadang muncul kembali dalam sel yang berada dalam keadaan berpotensi majemuk. Ketika Zwaka dan rekan mencari sisa-sisa rangkaian virus ini di sel iPS kelelawar, mereka menemukan banyak versi aktif, serta beberapa protein yang dihasilkan.
"Sungguh mengejutkan berapa banyak sekuens dari virus ini," kata Zwaka seperti dikutip dari laman Science, Kamis (23/2/2023)
Dia berteori, kelelawar tidak terpengaruh sekuens aktif karena replikasinya dapat bertindak sebagai strategi pertahanan terhadap virus lain atau sebagai semacam vaksinasi diri. Akan tetapi, para peneliti kelelawar lainnya memperingatkan bahwa butuh studi lebih lanjut terkait kemampuan kelelawar hidup dengan begitu banyak virus. Hal itu lantaran sebelumnya sudah banyak para ilmuwan yang mengatakan virus dan kelelawar memiliki hubungan simbiosis, namun sulit dibuktikan.