Depopulasi Jepang Masalah di Kota Maupun Desa
Masalah depopulasi di daerah karena infrastruktur yang tidak memadai.
REPUBLIKA.CO.ID, Sekelompok wartawan Indonesia yang baru tiba di Tokyo terkejut melihat petugas kebersihan yang membersihkan kamar mereka merupakan perempuan lanjut usia. Perempuan itu menyambut hangat para wartawan asing. Bingung dengan sapaan hangat perempuan yang kira-kira berusia 70 sampai 80 tahun itu mereka hanya mengangguk.
Fenomena pekerja informal diisi kelompok lanjut usia (lansia) tidak hanya ditemui di Tokyo tapi juga daerah lain. Salah satu faktornya adalah depopulasi akibat turunnya angka kelahiran.
Isu depopulasi Jepang dapat dibagi pada dua masalah, pertama rendahnya angka kelahiran di kota besar dan kedua langkanya kelompok usia produktif di daerah. Rendahnya angka kelahiran di kota-kota besar dipicu tingginya biaya kebutuhan hidup.
Sementara masalah depopulasi di daerah karena infrastruktur yang tidak memadai. Moda transportasi ke dan dari desa atau distrik menuju kota terbesar terbatas. Sementara infrastruktur di Tokyo terus dibangun sehingga populasi di Ibukota terus bertambah.
"Karena kalau di desa, kalau infrastrukturnya tidak memandai maka tidak ada potensi untuk mengembangkan bisnis atau menarik pemodal, sehingga orang desa pindah ke kota besar," kata seorang warga Tokyo yang tidak bersedia disebutkan namanya karena kerap bekerja sebagai sub kontraktor pemerintah.
Warga Tokyo itu menambahkan pada tahun 1997 pemerintah Jepang melarang sektor swasta untuk mempekerjakan pegawai kontrak. Tapi pada tahun yang sama peraturan tersebut di deregulasi.
Sejak saat itu banyak pegawai yang bekerja dengan status kontrak. Dengan begitu, katanya, pendapatan menurun drastis dan uang pensiun juga tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari karena harga barang-barang di Tokyo sangat mahal.
"Jadi lansia (lanjut usia) tidak bisa membiayai hidup sendiri," katanya.
Menurut sumber saat ini pegawai non-permanen di Tokyo merupakan masalah besar. Sebab hubungan kerja mereka dapat diputus kapan pun terutama di saat resesi.
Sumber mengatakan tidak hanya mudah diputus hubungan kerjanya tapi pendapatan pegawai kontrak juga jauh dibawah pegawai tetap. Sehingga masalah ekonomi menjadi faktor utama masyarakat Jepang saat ini menunda menikah.
"Rata-rata gaji pegawai tidak tetap tiga juta yen, ini tidak cukup untuk menikah, sedangkan wanita karir di Tokyo, misalnya penghasilannya delapan juta (yen), dengan laki-laki yang penghasilan tiga juta, tidak cocok," katanya.
"Kemudian di Tokyo, misalnya suami-istri bekerja, tapi karena bekerja di pusat kota, terlalu padat, tidak bisa beli rumah, harga tanah tinggi sekali, kalau tidak sewa, beli di pinggir kota, jauh sekali dari pusat kota, pulang-pergi naik kereta, buang waktu sampai empat jam, anak siapa yang merawat," tambahnya.
Sumber menambahkan tempat penitipan anak mahal, daftarnya pun harus menunggu, terkadang sampai satu tahun. Jadi, lanjutnya, bila pendapatannya cukup karena suami-istri bekerja tapi tidak punya waktu untuk mendidik dan mengasuh anak.
Maka selain faktor ekonomi faktor lain seperti waktu mendorong masyarakat muda Jepang terutama di Tokyo menunda menikah. Menurut sumber harus ada kebijakan pemerintah untuk mengatasi hal ini. Sementara pajak di Jepang, kata sumber, sangat tinggi.
"Pajak penghasilan, jaminan sosial, (jaminan) untuk kesehatan, uang pensiun (tinggi), kalau punya mobil kena pajak, kalau punya rumah kena pajak, potongan pajak langsung dari gaji," katanya.
Sumber mengatakan masalah-masalah ini terjadi di kota-kota besar sementara depopulasi di daerah lebih disebabkan infrastruktur yang tidak memadai.
Sementara itu warga Distrik Kayou Desa Hakuba Mika Matsuzama mengatakan depopulasi kemungkinan disebabkan biaya hidup yang terlalu mahal. Sudah lama, katanya, perekonomian Jepang tidak terlalu aktif.
"Mungkin karena itu banyak orang muda memutuskan untuk tidak menikah," katanya.
Banyak orang, tambahnya, yang memutuskan untuk tidak bertemu langsung tapi melalui media sosial. Sehingga tidak berkomunikasi secara mendalam. Menurutnya fenomena ini terjadi di seluruh Jepang.
"Tapi di Hakuba tidak banyak warga asli setempat, tapi banyak warga Hakuba sekarang yang datang ke Hakuba, karena menyukai salju, jadi masyarakat sangat campur baik dari seluruh Jepang maupun masyarakat internasional," katanya.
Hakuba merupakan desa wisata di Prefektur Nagano. Matapencaharian sekitar 8.500 penduduknya berkaitan dengan pariwisata. Di sini, kata Matsuzawa, banyak keluarga yang memiliki lebih dari satu.
Tapi tidak berarti depopulasi tidak terasa di Hakuba. Beberapa penduduk setempat mengatakan banyak rumah yang kosong karena tidak ada pewaris atau keturunan pemilik rumah memilih tinggal di kota.