Digencet Pajak, Pamer Kemewahan, dan Paradoks Pajak Bangsa Kita
Gaya hidup mewah keluarga Kemenkeu mencederai perasaan publik.
Oleh : Fuji Pratiwi, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Februari dan Maret biasanya jadi bulan sibuk untuk kita mengisi surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. Alhamdulillah, tiga tahun belakangan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat peningkatan kepatuhan pelaporan pajak melalaui surat pemberitahuan (SPT).
Pada tahun 2019, rasio kepatuhan SPT mencapai 73,06 persen. Kemudian pada 2020, rasio kepatuhan pajak meningkat kembali menjadi 78 persen. Setahun setelahnya rasio kepatuhan pajak kembali naik menjadi 84,07 persen.
Di tengah hiruk-pikuk kebiasaan tahunan itu, kita dibuat geger dengan kasus penganiayaan anak seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Kasus itu jadi ramai dan menyita perhatian publik. Tak cuma soal sabab musabab penganiayaan si anak pejabat DJP, publik juga penasaran dengan harta si pejabat akibat si anak pamer mobil dan moge yang harganya aduhai.
Baca juga : Dekan FKUI Tanggapi Video Jerome Polin dan Dua Koas
Dengan cepat pula jempol-jempol netizen Indonesia menggali banyak hal tentang mereka. Melalui berbagai media, publik mendapati mewahnya hidup si pejabat DJP dan keluarganya.
Kata Sri Mulyani, meski kasus penganiayaan si anak pejabat adalah kasus pribadi, rembetannya berdampak luas. Termasuk potensi gerusan kepercayaan publik terhadap DJP dan Kemenkeu. Sri Mulyani juga menyebut, gaya hidup mewah keluarga Kemenkeu mencederai perasaan publik.
Iya tentu saja, Bu Menkeu, saya setuju. Sebab, pajak tahunan yang negara ambil dari hasil keringat kita dan dipakai menggaji pegawai Kemenkeu, dipakai pamer. Kita yang melihat kelakuan keluarga si pejabat barangkali cuma bisa mengelus dada sambil istighfar.
Bukan apa-apa, masih banyak anak-anak yang kurang gizi karena orang tuanya miskin. Masih ada daerah yang gelap karena belum punya infrastruktur listrik. Harga-harga mahal dan beberapa bahan pangan sempat susah didapat.
Baca juga : Komisi XI Minta Kemenkeu Audit Kekayaan Pegawai Ditjen Pajak
Kita juga jadi mengerti kalau belakangan muncul isu memboikot SPT. Ada riak-riak keengganan bayar pajak. Buat apa bayar pajak kalau pengelola pajak tidak beres integritasnya, begitu kira-kira. Hal yang tentu saja mengkhawatirkan kalau boikot bayar pajak ini benar kejadian.
Sebab, target penerimaan negara bisa tidak tercapai. Di sisi lain, kalau pendapatan negara tidak mencapai target dan pemerintah berutang apalagi berutang ke luar negeri, kita juga geram.
Meski begitu, saya percaya, masih banyak orang baik. Kita berniat bayar pajak karena punya harapan akan masa depan Indonesia. Selanjutnya, kita awasi bersama ke mana mengalirnya uang kita.
Meski kasus pamer kemewahan dan harta pejabat DJP ini bukan yang pertama, selama kita mengawasi, insya Allah oknum-oknum nakal bisa ditindak. Apalagi, konon, netizen Indonesia adalah yang paling galak sedunia.
Baca juga : KPK Panggil Rafael Alun Trisambodo untuk Klarifikasi Harta Kekayaannya pada Rabu