Psikolog Duga Dandy Kurang Kasih Sayang Orang Tua Dilihat dari Tanda Ini
Orang tua yang menerapkan pola strawberry parenting cenderung manjakan anak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kekerasan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (20 tahun), anak dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terus jadi sorotan. Dandy menganiaya Cristalino David Ozora (17 tahun) dengan keji, dipicu kemarahan karena David diduga mengusik kekasihnya.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Koentjoro, menyoroti tindakan Mario tersebut. Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM itu, Dandy termasuk anak dengan kurang belaian dan kasih sayang orang tua. Itu ditengarai dari berbagai sikap Dandy.
Salah satunya, dalam video rekaman penganiayaan, di mana Dandy dengan lantang mengatakan dirinya tidak takut dengan konsekuensi perbuatannya. Begitu pula dengan kecenderungan mencari perhatian dengan motor gede, Rubicon, dan lainnya.
"Saya sering katakan ini, dengan istilah yang sedang top, strawberry parenting, sehingga hasilnya jadi anak stroberi. Seperti stroberi, tanaman yang bagus, kelihatan enak, tapi resiliensi rendah. Mudah lumer dan rusak. Itu terjadi pada dia (Mario)," kata Koentjoro kepada Republika.co.id, Senin (27/2/2023).
Orang tua yang menerapkan gaya didikan "strawberry parenting" cenderung melindungi dan memanjakan anak secara berlebihan. Anak pun mendapat berbagai macam hal atau fasilitas berlebihan yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan.
Hasilnya, anak menjadi seperti gelas kaca yang rapuh serta memiliki mental yang lemah. Ketika di dalam rumah sangat dilindungi, hal sebaliknya bisa terjadi di luar rumah, yakni anak menjadi liar. Situasi serupa terjadi pada Dandy, di mana dia mencari pujian dari "luar", ingin dianggap hebat.
Berpacaran dengan anak usia 15 tahun pun dianggap Koentjoro sebagai pemenuhan kebutuhan afeksi. Ketika itu diusik, Dandy menjadi marah bukan main. Koentjoro yang menjabat Ketua Dewan Guru Besar UGM pun mewanti-wanti orang tua supaya mencermati gaya didikan masing-masing. Terlebih, pendidikan anak harus dilakukan dari awal, tidak dengan tiba-tiba.
Di era media sosial ini, orang tua punya tantangan lebih, termasuk perkembangan teknologi yang "memanjakan". Orang tua pun berpotensi sibuk dengan media sosial, sibuk dengan urusannya sendiri, tidak memperhatikan keluarga dan menganggapnya sebagai fungsional saja.
Artinya, orang tua sekadar memenuhi kebutuhan dasar anak dan menjamin pendidikan formal, tapi tanpa pemenuhan kebutuhan afeksi. Bahkan, ada pandangan bahwa generasi saat ini sering dinilai sebagai generasi "lembek" dan senang membikin sensasi di media sosial. "Itu adalah akibat dari teknologi juga. Dimanjakan, tapi anak tidak pernah didampingi, bagaimana memanfaatkan itu dengan baik," kata Koentjoro.