Angka Stunting di NTT Tinggi, Anak-Anak Malah Diminta Sekolah Mulai Pukul 5 Pagi

FSGI menilai kebijakan sekolah dimulai pukul 5 pagi mengancam tumbuh kembang anak.

ANTARA/Kornelis Kaha
Sejumlah pelajar melintas di jalan setapak di pinggiran kali ketika hendak berangkat ke sekolah di Kecamatan Alak, Kota Kupang, NTT, Kamis (18/3/2021). Pada tahun ini, pemerintah daerah setempat akan menerapkan kebijakan dimulainya sekolah pukul 5 pagi. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara

Baca Juga


Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat, bersama Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi, beserta para kepala SMA/SMK/SLB negeri di Kota Kupang sepakat untuk mengubah jam masuk sekolah dimajukan pada pukul 05.00 WITA. Hal tersebut memicu respons negatif dari berbagai kalangan, termasuk Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang menilai kebijakan itu mengancam tumbuh kembang anak.

"FSGI mengritik kebijakan masuk sekolah jam 05.00 WITA di NTT dan mendorong pemerintah provinsi NTT mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut karena sangat membahayakan tumbuh kembang anak, sebaiknya dibatalkan karena tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak," kata Sekjen FSGI, Heru Purnomo, Selasa (28/2/2023).

Kebijakan itu disepakati dalam pertemuan bersama yang dilakukan pada Kamis (23/2/2023) lalu di aula Biru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT. Ada sejumlah dasar pertimbangan. Pertama, sekolah-sekolah berasrama seperti sekolah Katolik berasrama atau pesantren yang memulai aktivitas masuk sekolah pada pukul 05.00 WITA diawali dengan ibadah bersama, senam bersama, baru kemudian mulai aktivitas kegiatan belajar mengajar.

Kedua, aktivitas jual beli di pasar-pasar tradisional di Kota Kupang, NTT, biasa dilakukan sejak pukul 03.00 WITA. Sehingga kebijakan masuk sekolah 05.00 WITA tersebut dipandang sebagai masalah sederhana yang lama-kelamaan dapat menjadi kebiasaan yang bisa diterima masyarakat. Ketiga, kajian geografis menyebutkan, perputaran bumi saat ini begitu cepat dan matahari sudah terbit pada pukul 05.00 WITA.

"Pertimbangannya sangat tidak berperspektif anak, seperti sekolah reguler disamakan dengan sekolah berasrama, dan anak-anak disamakan dengan penjual di pasar yang sudah jualan pukul 3 pagi," menurut Heru.

FSGI juga mengumpulkan pendapat sejumlah guru dan orang tua terkait kebijakan masuk sekolah tersebut. Dari sana didapatkan, banyak orang tua yang tidak setuju dengan kebijakan itu. Responsnya beragam, mulai dari faktor keamanan anak saat menuju sekolah, transportasi yang sulit pada pagi hari, dan kesiapan orang tua di rumah seperti menyediakan sarapan, dan berbagai pertimbangan kesehatan anak.

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, mengungkapkan, berdasarkan informasi yang pihaknya dapat, kebijakan itu belum dibicarakan dan disosialisasikan kepada para pendidik. Pembicaraan dan penyosialisasian hanya dilakukan kepada para kepala sekolah.

"Sebenarnya banyak pendidik menolak kebijakan ini. Artinya, kebijakan ini dibuat tanpa kajian," kata Retno.

Anak kurang tidur

Jika merujuk pada berbagai kajian tentang dampak buruk bagi anak-anak yang kurang istirahat tidur, maka kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 WITA akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, termasuk pada kesehatan dan kemampuan belajarnya. Usia anak menurut UU Perlindungan Anak adalah 0-18 tahun.

"Apabila sang anak tidak cukup waktu tidurnya, ada dua fase yang sangat mugkin bisa terganggu. Dalam jangka panjang, kesehatan tubuh dan juga pertumbuhan otaknya dapat terpengaruh. Badan jadi mudah lelah, namun prestasi belajar anak juga akan jadi taruhannya," ujar Retno.

Dia menambahkan, sebuah studi membuktikan, anak-anak yang kurang jam tidurnya cenderung memiliki mood yang tidak stabil, mudah marah, sulit konsentrasi ketika melakukan sesuatu, dan mengalami penurunan kemampuan belajar ketika di sekolah. Tidak hanya untuk saat ini, kemampuan belajarnya bertahun-tahun ke depan juga bisa ikut terpengaruh.

"Penelitian yang dipublikasi di Journal Academic Pediatrics ini menunjukkan bahwa gangguan belajar, mengingat, dan analisa pada anak usia sekolah dasar dapat disebabkan oleh kurangnya jam tidur saat anak masih berusia balita. Jadi, jangan pernah menyepelekan kecukupan tidur anak," kata dia.

Stres dan pola hidup tidak sehat sering kali menjadi penyebab seseorang kurang tidur. Padahal, kebutuhan manusia akan tidur setara dengan kebutuhan dasar lainnya, seperti makan dan bernapas. Bila dibiarkan, kurang tidur dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan.

“Tidur sangatlah penting bagi tubuh. Pada saat tidur, tubuh akan memperbaiki diri, baik secara fisik maupun mental, sehingga kita merasa segar dan berenergi saat bangun serta siap menjalani aktivitas. Ini penting dan perlu bagi anak-anak yang sedang tumbuh kembang sampai usianya 18 tahun," terang Retno.

Kebutuhan tidur setiap orang tidak sama. Namun, tubuh umumnya membutuhkan tidur berkualitas selama 7–9 jam setiap harinya. Sementara itu, anak-anak dan remaja membutuhkan waktu tidur lebih banyak, yaitu sekitar 8–10 jam setiap hari.

“Berbagai penelitian menunjukkan kebutuhan tidur yang tidak tercukupi bisa menyebabkan anak terlihat lelah, tubuh terasa lemas, menguap sepanjang hari, dan sulit konsentrasi serta kejang saat tidur," ujar dia.

 

 

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi yang diberlakukan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) ibarat menggaruk bagian yang tidak gatal. Sebab, P2G menilai kebijakan tersebut tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di NTT.

"Masalah pendidikan di NTT ini sangat banyak," ujar Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, kepada Republika, Selasa (28/2/2023).

Masalah-masalah itu, di antarnya NTT menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, IPM NTT peringkat ke-32 dari 34 provinsi, masih banyak kelas di sekolah dalam kondisi rusak, lebih dari 50 persen SD, SMP, dan SMK belum dan berakreditasi C. Belum lagi ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP, yakni berkisar antara Rp 200-750 ribu per bulan.

Satriwan menilai, semua kondisi tersebut menunjukkan tidak ada korelasi antara masuk sekolah pukul 5 pagi dengan upaya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), menurunkan stunting, memperbaiki bangunan ruang kelas atau sekolah, memperbaiki akreditasi atau kualitas sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan guru honorer.

"Mestinya kebijakan pendidikan pemprov fokus saja pada masalah yang esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal," kata Satriwan.

Dia menyampaikan, kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi di NTT sepertinya akan menjadi kebijakan masuk sekolah terpagi di dunia, yang akan ditertawakan oleh komunitas pendidikan internasional. Kebijakan tersebut sangat tidak ramah anak, orang tua, dan guru.

"Kalau masuk pukul 5 pagi, pasti bangunnya pukul 4, bahkan bisa saja pukul 3 pagi jika jarak antara sekolah, rumah jauh, bahkan masih banyak siswa yang berjalan kaki menuju sekolah yang jauh," jelas dia.

Selain itu, guru-guru tidak mungkin datang pukul 5 pagi, melainkan lebih pagi lagi. Belum lagi bagi wilayah yang minim sarana transportasi umum atau akses jalan yang sulit diakses termasuk minim penerangan lampu jalan

"Artinya, pemprov tidak mempertimbangkan kebijakan tersebut dengan landasan kajian secara geografis dan transportasi publik," ucap Ketua P2G Provinsi NTT, Wilfridus. 

Dalam laporan jaringan P2G NTT, kondisi pagi pukul 05.00 WITA di sana masih sepi aktivitas masyarakat dan suasana masih gelap. Hal itu sangat berpotensi terjadinya tindak kriminalitas atau faktor keamanan. Kemudian, kebijakan itu berpotensi meningkatkan biaya hidup orang tua siswa. 

Sebab, bagi yang rumahnya jauh dari sekolah ditambah belum ada kendaraan umum beroperasi jam tersebut, mereka akan terpaksa mengontrak kos-kosan di dekat sekolah. Hal itu dia nilai akan berdampak pada membengkaknya biaya hidup tambahan perbulan atau mereka terpaksa beli kendaraan bermotor.

Menimbang kondisi-kondisi tersebut, P2G mendesak Pemprov NTT menghentikan kebijakan tersebut. Menurut P2G, kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang tidak ada pijakan akademisnya sedikitpun, tidak ramah terhadap siswa, orang tua, dan guru. 

P2G juga meminta Menteri Dalam Negeri mengevaluasi dan menegur Pemprov NTT serta meminta Mendikbudristek berkoordinasi, berkomunikasi dengan pemprov untuk mengkaji ulang kebijakan pendidikan tersebut. Serta meningkatkan intensitas pendampingan sesuai kewenangan Kemdikbudristek dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan guru di NTT.

Angka stunting di NTT memang terbilang tinggi. Pemprov NTT pernah menyebutkan jumlah anak yang masih mengalami kekerdilan di daerah itu mencapai 13.629 orang dari 77.000 orang anak yang menderita kekerdilan di 22 kabupaten/kota di NTT. 

"Melalui kerja keras yang dilakukan pemerintah NTT, angka kekerdilan anak mengalami penurunan dari 77.000 anak pada 2018 turun menjadi 13.629 orang anak pada Desember 2022 ," kata Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dalam keterangan tertulis Bagian Protokol dan Administrasi Pimpinan Setda Provinsi NTT yang diterima di Kupang, Kamis (19/1/2023).

Viktor mengatakan, upaya penanganan kekerdilan yang dilakukan Pemprov NTT lebih difokuskan pada ketersediaan makanan bergizi untuk kebutuhan anak-anak balita yang sedang dalam proses pertumbuhan guna mencegah terjadinya kekerdilan. Gubernur Viktor mendorong masyarakat NTT untuk menanam tanaman kelor yang memiliki kandungan gizi untuk diberikan kepada ibu-ibu hamil dan anak-anak yang sedang dalam proses pertumbuhan guna mencegah kekerdilan atau stunting.

 

Cegah stunting dengan pre konsepsi - (republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler