Atlet Hoki Pakistan Jadi Salah Satu Korban Tewas Kapal Imigran Karam di Perairan Italia

Tujuan kepergian atlet hoki Shahida Raza ke Italia untuk pengobatan sang putra.

Reuters
Kapal imigran yang karam. (Ilustrasi)
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Seorang pemain hoki profesional Pakistan, Shahida Raza, menjadi salah satu korban tewas ketika ketika kapal yang ditumpanginya karam di lepas pantai Italia pada Ahad (26/2/2023). Tujuan Raza pergi ke Italia untuk mendapatkan perawatan medis bagi putranya yang berusia tiga tahun.

Baca Juga


Saudara perempuan Shahida Raza, Saadia Raza mengatakan, kakak perempuannya menelepon dari kapal, yang berangkat dari Turki empat hari sebelumnya. Ketika itu, Shahida  mengatakan bahwa dia akan segera mendarat di Italia.

"Dia (Shahida) bersyukur kepada Tuhan bahwa dia hampir sampai," kata Saadia kepada BBC melalui telepon dari rumahnya di Quetta, di barat daya Pakistan. 

"Dia (Shahida) bilang, dia takut sesuatu bisa terjadi saat dia bepergian melintasi air. Dia mengatakan kepada kami dia tidak percaya, bahwa dia akan membawa putranya untuk mendapatkan perawatan kesehatan," ujar Saadia.

Kemudian panggilan telepon antara Shahida dan Saadia terputus. Keluarga Shahida tidak bisa menghubunginya lagi.

Shahida berusia 27 tahun ketika dia meninggal di kapal yang karam di lepas pantai Italia.  Penumpang dalam kapal itu berasal dari Afghanistan, Somalia, Suriah, Pakistan, Irak, dan Iran. Mereka mencoba menyeberang secara ilegal ke Eropa.  Perahu kayu itu diperkirakan membawa sekitar 200 orang, dan lebih dari 60 orang diketahui telah meninggal.

Shahida memiliki alasan yang sangat khusus untuk melakukan perjalanan berbahaya itu. Saadia mengatakan, satu-satunya alasan Shahida melakukan perjalanan ini adalah untuk putranya yang berusia tiga tahun.

"Dia (putra Shahida) sangat tidak sehat, sebagian otaknya rusak ketika dia mengalami stroke pada usia 40 hari karena demam. Otaknya rusak sebagian dan satu sisi tubuhnya dari kepala sampai kakinya lumpuh," ujar Saadia.

Shahida telah membawa putranya ke berbagai rumah sakit di Karachi, namun mereka tidak dapat memberikan pengobatan. Para tim dokter justru menyarankan Shahida untuk membawa putranya ke luar negeri dengan harapan bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik.

"Dia bilang saya tidak bisa melihat anak saya seperti ini, saya ingin dia berjalan seperti anak normal, itu satu-satunya keinginan saya. Dia tidak ingin melihat anaknya terbaring tak berdaya," kata Saadia.

Kepergian Shahida membuat Saadia terpukul. Saadia mengatakan, kakak perempuannya itu selalu tampak ceria meski memendam kesedihan akibat kondisi kesehatan putranya.

"Dia biasa membuat kita semua tertawa, tetapi dia sendiri sering menangis karena putranya. Setiap kali dia melihat putranya, matanya berlinang air mata," ujar Saadia.

Shahida adalah seorang pemain hoki profesional untuk tim nasional Pakistan dan pemain sepak bola nasional. Keluarga Shahida mengatakan, selama menjadi atlet profesional dia tidak mendapatkan bayaran yang sesuai. Shahida telah bepergian ke luar negeri untuk mengikuti turnamen internasional, termasuk ke Singapura, Thailand, Hong Kong dan Iran.

Keluarga Shahida mengatakan, mereka tidak tahu tentang rencana perjalanan Shahida ke Italia. Keluarga juga tidak bisa memastikan apakah Shahida mencoba mendapatkan visa untuk melakukan perjalanan secara legal ke Italia. Tetapi para agen penyelundup manusia sering meyakinkan orang-orang dengan menawarkan jalur cepat untuk menerap di luar negeri ketimbang melalui proses birokrasi yang rumit. Shahida melakukan perjalanan ke Turki secara legal dengan visa, sebelum naik kapal ke Italia.

Shahida tinggal di Balochistan, yaitu provinsi Pakistan yang berpenduduk jarang dan miskin. Provinsi ini merupakan bagian dari Hazara, komunitas minoritas Syiah, yang sering menjadi sasaran kelompok ekstremis.  

Beberapa hari sebelum kapal yang ditumpangi Shahida karam, warga Pakistan lainnya tewas ketika sebuah kapal yang mereka tumpangi karam di pantai Libya. Kapal itu juga bertujuan ke Italia.

"Orang-orang pergi karena putus asa, mereka tidak punya pilihan. Pemerintah kami tidak membantu rakyatnya, Anda dapat melihat bagaimana inflasi dan biaya hidup di sini," kata Saadia.

Setelah menunggu lama, keluarga Shahida mengetahui tentang bangkai kapal itu di media sosial.  Keluarga Shahida belum bertemu dengan perwakilan pemerintah sejak insiden kapal karam itu.

"Ini seperti hari kiamat bagi keluarga kami," kata Saadia. 

Saadia mulai menangis dan menghentikan percakapan dengan BBC untuk menenangkan diri.  Teman dan keluarga Shahida telah berdatangan ke kediamannya selama beberapa hari terakhir untuk menyampaikan duka cita yang mendalam. Selain itu, media lokal berkumpul di luar rumah keluarga Shahida.

"Pada hari kami mendengar bahwa dia tidak ada lagi, hanya kami dan Tuhan yang tahu bagaimana perasaan kami. Kami ingin pemerintah menyerahkan jenazahnya secepat mungkin. Kami tidak membutuhkan apa pun dari orang lain sekarang," kata Saadia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler