Konflik-Konflik yang Bakal Terdampak Pulihnya Hubungan Arab Saudi-Iran
Cina bertindak sebagai mediator dalam pulihnya hubungan Arab Saudi dan Iran.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesepakatan antara Arab Saudi dan Iran di Beijing pekan lalu masih menyisakan sejumlah masalah. Berikut konflik-konflik di Timur Tengah yang dapat berdampak pada perjanjian yang ditengahi Cina itu.
Yaman
Riyadh mengintervensi Yaman sebagai ketua koalisi yang didukung Barat dalam menghadapi gerakan Houthi. Setelah kelompok yang didukung Iran itu menggulingkan pemerintah yang diakui internasional di ibu kota Sanaa.
Perang mengalami kebuntuan selama bertahun-tahun. Houthi yang menguasai Yaman Utara dan beberapa daerah yang berbatasan dengan Arab Saudi telah melancarkan serangan rudal dan drone ke Arab Saudi.
Tahun lalu Riyadh dan Houthi kembali ke meja perundingan yang difasilitasi Oman setelah gencatan senjata yang ditengahi PBB. Gencatan senjata batal pada bulan Oktober, tapi masih bertahan hingga saat ini.
Pemulihan hubungan Arab Saudi dan Iran dapat memfasilitasi kesepakatan antara Riyadh dan Houthi. Perang Yaman juga menjadi titik ketegangan antara Arab Saudi dengan pemerintahan Presiden AS Joe Biden yang sudah menjatuhkan pembatasan senjata ke kerajaan.
Suriah
Iran memberikan bantuan militer, ekonomi dan diplomatik pada Presiden Bashar al-Assad sejak unjuk rasa tahun 2011. Cina juga melindungi Suriah di PBB dan mempertahankan hubungan ekonomi dan politik dengan Damaskus.
Sementara Riyadh mendukung pemberontak yang mencoba menggulingkan Assad untuk memperlemah Teheran. Tapi dukungan Iran membantu Assad membalikan keadaan, sementara dukungan senjata dari Arab Saudi dan oposisi politik melemah.
Pemulihan hubungan Arab Saudi-Iran disepakati saat isolasi negara-negara Arab pada Assad mulai melemah. Arab Saudi juga semakin terlibat dengan Suriah yang dapat membawa kembali negara itu ke Liga Arab.
Kementerian Luar Negeri Suriah menyambut baik kesepakatan Arab Saudi-Iran sebagai 'langkah penting' yang dapat mendorong stabilitas kawasan. Kelompok oposisi tidak memberikan komentar.
Israel yang ingin menormalisasikan hubungan dengan Arab Saudi berada di posisi yang berbeda dengan Iran di Suriah.
Lebanon
Selama bertahun-tahun politik Lebanon terpecah menjadi dua kubu antara pro-Iran yang dipimpin kelompok bersenjata Hizbullah dan pro-koalisi Arab Saudi. Pada 2021, Arab Saudi dan negara-negara Aran Teluk menarik duta besar mereka dari negara itu setelah Hizbullah dianggap menguasai negara.
Perwakilan sudah kembali dikirimkan tapi Lebanon masih terjebak di keterpurukan ekonomi dan kini menghadapi krisis politik yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Lebanon tidak memiliki presiden selama berbulan-bulan dan kewenangan kabinet menjadi terbatas.
Pemulihan hubungan Riyadh-Teheran memberi harapan Lebanon dapat segera lepas dari kelumpuhan. Ketua Parlemen Lebanon Nabih Berri mengatakan 'membaca' berita positif itu harusnya memicu politisi Lebanon 'segera' memilih presiden.
Hizbullah mengatakan kesepakatan itu perkembangan bagus tapi berhati-hati pada dampak penuh yang masih belum diketahui. Kelompok itu mendukung politisi Kristen Suleiman Frangieh sebagai presiden tapi dua orang sumber mengatakan Arab Saudi menolaknya.
Baca juga : Bersedia Berbaikan dengan Israel, Arab Saudi Ajukan Syarat ke AS
Irak
Setelah menggulingkan Saddam Hussein dalam invasi yang dipimpin AS pada 2003, kuatnya pengaruh politik, keamanan dan ekonomi Iran di Irak menjadi peringatan bagi Arab Saudi. Pada 2019, Iran menggelar serangan drone ke fasilitas minyak Arab Saudi yang terbang melewati ruang udara Irak.
Satu tahun kemudian, perbatasan Arab Saudi-Iran dibuka kembali setelah dua dekade. Baghdad menjadi tuan rumah dalam pembicaraan dua negara tetangganya tapi pembicaran itu mengalami kebuntuan tahun lalu dan Irak mengalami krisis politik.
Baghdad menyambut baik pemulihan hubungan Riyadh-Teheran sebagai cara untuk "membalikan halaman." Warga Irak berharap menurunnya ketegangan di kawasan dapat memungkinkan negara mereka dapat dibangun kembali.