Rasio KPR Indonesia Hanya 2,9 persen, Jauh Tertinggal dari Negara Tetangga
Rasio KPR Malaysia tercatat 38,48 persen dan India 6,58 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) menyebut rasio kredit pemilikan rumah terhadap produk domestik bruto di Indonesia masih tergolong kecil. Sepanjang 2022, rasio kredit pemilikan rumah terhadap produk domestik bruto sebesar 2,99 persen.
Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan SMF Heliantopo mengatakan rasio kredit pemilikan rumah terhadap produk domestik bruto di Indonesia masih tertinggal dengan Malaysia dan India.
"Bandingkan dengan Malaysia sebesar 38,48 persen pada tahun yang sama atau India sebesar 6,58 persen,” ujarnya saat webinar Urban Forum Banking & Property Outlook 2023, Selasa (14/3/2023).
Heliantopo menyebut selama ini pemerintah telah mengalokasikan dana fiskal ke sektor perumahan. Heliantopo pun memberikan lima pesan utama terkait kondisi makroekonomi dan pembiayaan perumahan.
Pertama, ketidakpastian global masih tinggi dan diperparah dengan kemungkinan terjadinya bank run di Amerika. Kedua, di tengah ketidakpastian global, ekonomi Indonesia masih tetap tumbuh, tetapi akan mengalami perlambatan.
Ketiga, Bank Indonesia akan tetap menjalankan kebijakan yang agresif demi menjaga inflasi inti dan nilai tukar. Keempat, Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BPR memiliki peran penting untuk memperluas jangkauan penyaluran kredit pemilikan rumah.
“Kelima, regulasi yang melindungi dan mendisiplinkan seluruh pemangku kepentingan sektor perumahan perlu ditingkatkan,” ucapnya.
Di samping itu, Heliantopo menyebut seluruh lembaga internasional memiliki konsensus bahwa pertumbuhan ekonomi global pada 2023 akan melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal menarik, kata Heliantopo, entitas swasta memiliki proyeksi yang lebih pesimistis dibandingkan dengan lembaga multilateral.
“Hal ini mengindikasikan bahwa pasar lebih khawatir terhadap kondisi pada 2023,” ucapnya.
Kendati demikian, ekonomi Indonesia lebih baik dibandingkan dengan kondisi berbagai negara lain. Hal ini mengingat Indonesia masih mendapatkan manfaat dari kenaikan harga komoditas energi.
“Pada saat yang sama sektor manufaktur masih dalam proses ekspansif walaupun menunjukkan tren penurunan. Meskipun perlambatan pertumbuhan ekonomi global tidak mungkin dihindari,” ucapnya.