Industri Hilir Sawit Dihantui Tantangan Berat

Kelanjutan kegiatan bisnis diyakini masih akan menghadapi tantangan berat.

ANTARA FOTO/Makna Zaezar
Foto udara kendaraan melintas di areal perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Pangkalan Banteng, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Senin (7/11/2022). Di tengah peluang besar industri hilir sawit nasional tahun ini, kelanjutan kegiatan bisnis diyakini masih akan menghadapi tantangan berat baik dari dalam dan luar negeri akibat resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah peluang besar industri hilir sawit nasional tahun ini, kelanjutan kegiatan bisnis diyakini masih akan menghadapi tantangan berat baik dari dalam dan luar negeri akibat resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat. Para pelaku industri pun berharap pemerintah mampu menciptakan kebijakan dan dukungan terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.

Baca Juga


Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, program biodiesel telah mencapai bauran 35 persen yang diharapkan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Pada 2023, target penggunaan biodiesel akan mencapai 13,15 juta kiloliter yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp 140 triliun.

“Program biodiesel merupakan bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2060. Karena itulah, perlu didorong program bioenergi lainnya seperti bioavtur, bioethanol, dan bensin sawit,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (29/3/2023).

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat menyampaikan, Indonesia telah menjadi produsen terbesar dari produk oleokimia di dunia. Saat ini, kapasitas produksi oleokimia Indonesia mencapai 11,38 juta ton di mana lebih tinggi dari Malaysia sebesar 2,5 juta sampai 3 juta ton yang berbasis minyak sawit.

Menurutnya, Indonesia sangat beruntung memiliki sentra produksi oleokimia di dalam negeri karena sangat bermanfaat di masa pandemi terutama bagi produk disinfektan dan kebersihan tubuh seperti sabun. Kinerja positif oleokimia, diakui Rapolo, juga ditopang keberpihakan pemerintah melalui kebijakan gas murah. Sehingga, industri oleokimia mendapatkan insentif gas murah sampai 2024.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menjelaskan pada kuartal pertama tahun ini tren masih di bawah tren periode sama tahun lalu. Di pasar global, terjadi penurunan tren produksi 17 minyak nabati sebesar dua persen menjadi sekitar 58 juta ton dari target awal 61 juta ton. Begitu pula di dalam negeri, harga sawit tidak seperti tahun lalu di atas 1.000 dolar AS per ton.

“Saat ini ekspor sawit menurun akibat dampak resesi global. Imbasnya, target domestic market obligation sulit dicapai," ujarnya.

Tantangan sawit

Dengan berbagai peluang dan tantangan itu, ketiga asosiasi sawit ini mengakui masih adanya hambatan dagang kepada produk hilir sawit. Paulus Tjakrawan, misalnya mengakui Indonesia masih menunggu hasil gugatan kebijakan RED II kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang ditangani oleh Dispute Settlement Body WTO melalui pendaftaran dengan kode WT/DS 593.

Proses penyelesaian sengketa DS 593 menghadapi sejumlah kendala antara lain kekosongan hakim juri atau arbitrator di appellate body atau badan banding. Minimnya hakim juri ini akibat blokade penunjukkan arbitrator oleh Amerika Serikat semenjak 2017.

Di sektor oleokimia, diakui Rapolo, produk ke Uni Eropa dikenakan bea masuk anti dumping dengan kisaran 15 persen-46 persen. Tarif ini sudah mulai diberlakukan pada Desember 2022 sehingga anggota Apolin kesulitan menembus pasar Eropa.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler