Tak Sembarangan, Kritik Ada Caranya, Bagaimanakah?

Kritik tidak boleh disertai celaan.

ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Ilustrasi mengkritik pihak lain.
Rep: Umar Mukhtar Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada sejumlah hal yang perlu dihindari seorang Muslim saat hendak menyampaikan kritik. Hal ini didasarkan pada pendapat para ulama.

Baca Juga


Pertama, tinggalkan apa yang tidak menjadi fokusnya dan apa yang tidak dipahaminya. Lebih baik menyerahkan urusan tersebut kepada orang yang memang ahlinya.

Kedua, tidak menjadi orang yang memalsukan diri menjadi sosok yang paham pada apa yang dibicarakan. Juga tidak menyampaikan kritik palsu karena ketidaktahuannya atas kebenaran atau karena ketidakmampuannya membela kebenaran.

Tidak semua orang memenuhi syarat untuk melakukan dialog yang sehat dan tepat, yang menghasilkan sesuatu yang baik dan matang. Sadari bahwa orang yang tidak tahu itu tidak sama dengan orang yang mengetahuinya. Maka orang yang tidak tahu sebaiknya tidak mengkritik orang yang tahu.

Kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya dapat menjadi contoh, yang diabadikan dalam Surat Maryam ayat 43: "Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus."

Ketiga, tidak mencela orang yang tahu. Poin ketiga ini ditujukan kepada orang yang tidak tahu alias bodoh. Orang yang tidak tahu justru wajib bertanya dan memahami suatu perkara terlebih dulu. Bukan malah menolak dan mengkritik.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir bisa menjadi contoh untuk selalu belajar jika tidak tahu. Nabi Musa menyampaikan keinginannya untuk belajar kepada Nabi Khidir tentang hal yang tidak diketahuinya. Ini diabadikan dalam Alquran Surat Al Kahfi ayat 66:

"Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?"

Keempat, tidak sembarangan mengungkap adanya kebatilan hanya karena mengetahui kebenaran. Menjadi orang yang mengetahui kebenaran, belum tentu memenuhi syarat untuk membela kebenaran dan memperdebatkannya. Pengetahuan atas suatu kebenaran, tidak menuntut kemampuan untuk menunjukkan kebatilan.

Sebab, ada orang yang memahami kaidah atau prinsip tetapi tidak memahami situasi. Ada yang mengerti jalan pikiran si Fulan tetapi tidak tahu apa penyebabnya. Ada yang menghafal dalil tetapi tidak mengambil kesimpulan darinya.

Orang-orang itulah yang merasa dirinya mengetahui kebenaran sehingga ia merasa harus mengonfrontasikannya dengan kebatilan. Tentu saja, sikap ini sebaiknya perlu dipertimbangkan kembali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler