Demokrasi For Sale: Keserakahan Politik Sistem Klienisme

Masyarakat harus diserahkan untuk mengawasi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Republika/ Wihdan
Deklarasi Kampanye Damai. Maskot Pemilu ikut memeriahkan acara Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas Pemilu 2019.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Edhy Aruman, Pengajar Ilmu Komunikasi dan Mantan Jurnalis Senior Republika.


Tahun 2019, Edward Aspinall dan Ward Berenschot menulis buku Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Buku itu merupakan laporan mendalam tentang demokrasi Indonesia, khususnya jaringan-jaringan informal dan strategi politik yang membentuk akses ke kekuasaan dan hak istimewa dalam situasi politik yang rumit di Indonesia saat ini.

Menurut kedua penulis, demokrasi di Indonesia terus menghadapi tantangan yang signifikan akibat praktik klienisme yang merajalela dalam sistem politik. Edward Aspinall dan Ward Berenschot kemudian menguraikan dampak buruk dari sistem klienisme ini, termasuk pembelian suara, penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi kebijakan pemerintah, dan penggelapan dana.

Sistem klienisme khas di Indonesia mengacu pada pola interaksi politik dan ekonomi, yang berlandaskan pertukaran dukungan dan sumber daya antara individu atau kelompok yang berkuasa dan berpengaruh dan individu atau kelompok yang posisinya lebih rendah. 

Edward Aspinall adalah seorang profesor di Sekolah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Australian National University. Ia merupakan seorang ahli dalam studi politik Indonesia, dengan fokus pada demokrasi, konflik separatisme, dan reformasi politik. Aspinall telah menerbitkan beberapa buku dan artikel tentang politik Indonesia dan Asia Tenggara.

Ward Berenschot adalah seorang peneliti senior di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV). Ia memiliki keahlian dalam politik dan tata kelola di Asia Selatan dan Asia Tenggara, terutama Indonesia dan India. Berenschot juga meneliti tentang klienisme, kekerasan politik, dan tata kelola perkotaan. Ia telah menulis berbagai publikasi terkait politik dan masyarakat di kawasan tersebut.

Dalam situasi Indonesia, klienisme umumnya melibatkan politisi, pejabat pemerintah, dan kelompok yang memiliki pengaruh, yang menyediakan dukungan finansial, bantuan, atau akses ke sumber daya bagi pemilih atau anggota masyarakat dengan imbalan atas dukungan politik dan kesetiaan.

Sistem klienisme yang khas di Indonesia itu terbentuk karena beberapa alasan. Yang menarik adalah klienisme di Indonesia itu muncul karane latar belakang sejarah politik, budaya, ekonomi, dan lemahnya institusi negara, yang menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik-praktik politik merusak ini.

Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi yang tinggi di Indonesia membuat banyak warga bergantung pada bantuan dan dukungan dari pihak yang lebih kaya dan berkuasa. Dalam politik, hal ini sering kali berarti bahwa politisi menawarkan bantuan material atau kebijakan yang menguntungkan bagi pemilih mereka sebagai imbalan atas dukungan politik. Praktik ini memperkuat sistem klienisme yang ada.

Faktor lainnya adalah akibat dari lemahnya institusi dan penegakan hukum. Kurangnya transparansi dan pengawasan dalam sistem politik Indonesia, serta penegakan hukum yang tidak konsisten, menciptakan peluang bagi politisi dan kelompok berpengaruh untuk mengeksploitasi sistem klienisme demi kepentingan mereka. Selain itu, partai politik di Indonesia umumnya lemah dan kurang terorganisasi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap praktik klienisme.

 

 

Dalam analisis yang kritis, kita harus mempertanyakan, bagaimana sistem klienisme ini merusak esensi demokrasi dan bagaimana hal ini memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Pertama, praktik klienisme menciptakan ketidakadilan dalam akses ke kekuasaan dan hak istimewa, karena politisi dan kelompok berpengaruh menggunakan jaringan dan hubungan informal untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan mereka. Ini menyebabkan politik yang lebih didasarkan pada pertukaran kepentingan dan bukan pada kebijakan publik yang adil dan inklusif.

Kedua, sistem klienisme melemahkan institusi demokrasi formal, seperti partai politik dan sistem pemilihan. Dalam sistem yang didominasi oleh klienisme, partai politik menjadi lemah dan kurang terorganisasi, yang mengakibatkan pengabaian kebijakan dan program yang seharusnya menjadi fokus partai politik. Selain itu, dengan adanya pembelian suara, integritas proses pemilihan pun menjadi terkompromi.

Ketiga, praktik klienisme juga berdampak buruk pada perekonomian dan pembangunan nasional. Penyalahgunaan pengaruh, manipulasi program pemerintah, dan penggelapan uang dari proyek pemerintah mengarah pada alokasi sumber daya yang tidak efisien dan menghambat pembangunan yang merata dan berkelanjutan.

Untuk mengatasi masalah klienisme, Indonesia harus melibatkan masyarakat dan memperkuat institusi demokrasi formal serta penegakan hukum. Transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan dalam sistem politik, sementara partai politik harus diberdayakan untuk menjadi lebih terorganisasi dan fokus pada kebijakan publik. Selain itu, pengawasan masyarakat dan partisipasi aktif dalam proses politik juga sangat penting untuk membendung praktik klienisme dan memastikan bahwa demokrasi di Indonesia dapat berkembang dengan sehat dan inklusif.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler