Ilmuwan Irlandia Sarankan Nama Baru untuk Menyebut Obesitas, Jadi Apa?

Obesitas dinilai perlu terdengar seperti penyakit, tak bikin orang jadi malu.

EPA
Pria obesitas berjalan di atas treadmill. Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah memperdebatkan apakah obesitas harus digolongkan sebagai penyakit atau tidak.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmuwan dari Irlandia menyarankan sebuah nama baru untuk obesitas. Tujuannya, agar kondisi itu lebih terdengar seperti penyakit dan tak membuat pengidapnya malu. Istilah yang disarankan adalah "disregulasi nafsu makan kronis".

Margaret Steele dari University College Cork berpendapat sudah selayaknya obesitas dilihat sebagai penyakit. Dia menilai, dokter harus mengklasifikasikan pasien obesitas berdasarkan seberapa rentan mereka terhadap makan berlebihan, bukan hanya meninjau berat badan.

Steele menyoroti, para ahli telah menemukan ratusan gen yang meningkatkan risiko seseorang mengidap obesitas. Mutasi pada gen tersebut berpotensi menyebabkan perubahan pada bagian otak yang terkait dengan pengendalian nafsu makan.

Steele menyampaikan, lingkungan telah membuat orang-orang terpapar dengan begitu banyak jenis makanan. Beberapa orang tampaknya mampu menahan godaan dan berhenti makan ketika sudah kenyang sehingga itu baik untuk menjaga berat badan yang sehat.

Namun, Steele mengatakan ada orang-orang yang sepertinya tidak berhasil melakukan itu. Dia menjelaskan, ada sesuatu yang terjadi di otak, sesuatu di tingkat hormon. Itu bukan sekadar masalah kemauan atau membuat keputusan untuk makan secukupnya.

"Ini pada tingkat yang jauh lebih dalam sehingga sebagian orang tidak benar-benar memiliki kendali penuh. Mereka terus-menerus dikirimi sinyal untuk makan sehingga mereka mungkin merespons dengan makan berlebihan," ujar Steele, dikutip dari laman The Sun, Sabtu (20/5/2023).

Orang-orang itu disebutnya perlu mendapatkan semacam bantuan medis untuk tidak terus makan berlebihan. Paparan Steele dituangkan dalam sebuah studi, yang telah dipresentasikan pada Kongres Eropa tentang Obesitas di Dublin, Irlandia.

Studi itu berargumen, obesitas harus diklasifikasikan dari sudut pandang filosofis. Kelebihan lemak saja tidak cukup untuk dianggap sebagai penyakit. Ukuran tubuh bukan satu-satunya faktor ketika mempertimbangkan seseorang mengidap obesitas.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah memperdebatkan apakah obesitas harus digolongkan sebagai penyakit atau tidak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya penyakit sejak 1936, sementara Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) mendefinisikan obesitas sebagai "seseorang yang memiliki kelebihan lemak tubuh".

Baca Juga


Ada pula pakar yang berpendapat bahwa mengategorikan obesitas sebagai penyakit dan bukan konsekuensi dari perilaku justru tidak membantu pasien. Psikiater Max Pemberton mengatakan hal itu menyingkirkan tanggung jawab pribadi dan menempatkannya pada penanganan dokter semata.

Pemberton menyebut, penyakit menunjukkan bahwa ada keniscayaan kondisi dan sebenarnya tidak harus terjadi seperti itu. Sementara itu, obesitas tidak sepenuhnya demikian.

Sebagai perbandingan, ada komponen genetik yang membuat sebagian orang cenderung kecanduan merokok daripada orang lainnya. Faktanya, pakar tidak mengklasifikasikan kebiasaan merokok sebagai penyakit.

"Kita memahaminya sebagai perilaku yang bisa kita pilih, bahkan mereka yang memiliki kecenderungan genetik untuk menjadi gemuk bukanlah budak DNA mereka," kata Pemberton.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler