Hukum Melihat Kemaluan Istri Saat Berhubungan Intim
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap pasangan suami-istri berbeda-beda dalam menyalurkan hasrat seksualnya. Setelah menikah, ada seorang suami yang terkadang harus melihat dulu farji atau kemaluan istrinya, sehingga lebih bergairah dalam melakukan hubungan seksual.
Lalu bagaimana hukum melihat kemaluan istri saat berhubungan intim?
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjelaskan secara umum dibolehkan bagi suami melihat aurat istri atau sebaliknya baik ketika berhubungan, mandi bersama maupun dalam keadaan yang lain.
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT, seperti dalam surat al-Mukminun ayat 5-6, al-Baqarah ayat 187 dan al-Baqarah ayat 223. Begitu juga dalam sebuah riwayat dikisahkan, seorang sahabat yang bernama Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairy pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Ya Rasulullah, aurat kami manakah yang harus kami tutup dan manakah yang boleh kami buka?”
Rasulullah SAW bersabda:
اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ ( رواه أحمد والترمذي وأبو داود(
Artinya: “Tutuplah auratmu kecuali dari istrimu atau budak perempuanmu.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
“Riwayat tersebut menunjukkan bolehnya istri melihat aurat suami dan bolehnya budak wanita melihat aurat sayyidnya (majikan), demikian pula suami atau majikan boleh melihat aurat istri dan budak wanitanya,” dikutip dari Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid di halaman resmi PP Muhammadiyah.
Dua riwayat hadits membicarakan batasan melihat kemaluan suami atau istri...
Memang ada dua riwayat hadits yang membicarakan batasan suami istri untuk melihat farji atau kemaluan (alat kelamin) pasangannya, di mana melihatnya dilarang. Pertama, larangan ini disandarkan pada hadits yang diriwayatkan ‘Aisyiah ra.:
قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها: مَا رَأَيْتُ ذَلِكَ مِنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه وسلّم وَمَا رَأَى مِنِّى.
Artinya: “‘Aisyah ra. berkata: ‘Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah begitu pula Beliau tidak melihat kemaluanku’, “.
Namun setelah dilakukan penelusuran, hadits yang disebutkan di atas tidak ditemukan jalur sanadnya. Dan jika hadis ini tidak memiliki sanad, maka hadits seperti ini dalam istilah ilmu hadis disebut dengan la asla lahu (tidak memiliki sumber asal) yang-meminjam istilah Ibn Hajar al-‘Asqolani temasuk hadis maudlu’ (palsu), sehingga ditolak sebagai hujjah.
Kedua, di dalam hadits lain juga disebutkan alasan mengapa dilarang melihat kemaluan wanita, yaitu karena dapat menyebabkan kebutaan mata, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ النَّيُّ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ: لاَ يَنْظُرَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلَى فَرْجِ زَوْجَتِهِ وَلاَ فَرْجِ جَارِيَتِهِ إِذَا جَامَعَهَا فَإِنَّ ذَالِكَ يُورِثَ الْعَمَى.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra. bahwa Nabi SAW bersabda : “Janganlah salah seorang di antara kamu melihat pada kemaluan istrinya dan jangan pula (melihat) pada kemaluan budak perempuannya apabila dia menyetubuhinya, karena sesungguhnya hal itu dapat menyebabkan kebutaan.”
Hadits di atas dari segi matan tidak memiliki landasan medis, dan ternyata setelah dilakukan penelusuran dari segi sanad pun bermasalah. Ada ketidakjelasan periwayat antara Baqiyyah bin al-Walid al-Kila’i (w. 197 H) dengan Ibn Juraij (w. 150 H), dan ketidakjelasan periwayat sebelumnya yang mengindikasikan bahwa bagian periwayat hadis ini tidak dikenal dla’if.
“Kesimpulannya, karena banyaknya kelemahan pada hadits larangan melihat farji (kemaluan) pasangan sahnya, baik secara sanad maupun matan, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah (dalil),” jelas Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.