Peyorasi Haji yang Cari Tuyul di Makkah oleh Pemerintah Kolonial Belanda
Setelah sukses menyingkirkan pengarus Islam di Karton, kolonial kemudian menyasar penyinggkiran peran para haji.
Terkait soal keributan adanya kontroversi soal tuyul, maka lebih baik kita cari apa akar jadi penyebab munculnya soal ini pada zaman yang lalu, yakni sebelum kemerdekaan. Kala itu, sejak perang Diponegoro pemerintah kolonial mati-matian memadamkan api perlawanan dari kaum santri yakni para haji yang mereka sebut sebagai orang yang pernah pergi ke Makkah. Kala itu memang para hajilah yang memompa semangta perlawanan kolonial yang ini dihembuskan para penganut tarikat Syattariyah.
Diponegoro dan Kyai Modjo adalah salah satu pengikutnya. Bahkan, raja-raja Pakubowono di Solo, seperti Paku Buwono dari I sampai IV pengkut tarikat ini. Mereka berkorespnden dengan ulama di Makkah di dalam mengorbarkan api perlawanan tersebut. Maka muncullah berbagai perlawanan usai kekalahan DIponegoro, seperti perlawanan ulama di dekat Pekalongan sampai perlawananan para haji di Banten, pada tahun 1888.
Maka memang, terutama di Jawa, terus timbul ketegangan terhadap soal orang naik haji di kalangan pemerintahan kolnial. Tak cukup menyingkirkan para santri di kalangan kraton, mereka terus mencurigai keberaradan para haji. Apalagi kala itu pesantren dan para ulama memilih 'uzlah (memisahkan diri) dengan pemerintah penjajag Belanda.
Persoalan ini makin terasa kencang karena terkait suasana perubahan sosial di kalangan masyarakat Jawa, khususnya terkait dengan kemunculan kelas menengah baru yang mendorong penyebaran reformasi Islamis. Kemampuan finansial yang meningkat dari kelompok ini memungkinkan lebih dari mereka untuk pergi haji.
Hal ini tentu saja menjadi masalah sosial baru karena memang sejak lama pihak kolonial dan juga sebagian elite Jawa, tak suka kepada peran baru dari para haji. Mereka dianggap tengah berusaha mendelegitimasi posisi sosialnya. Ini misalnya organasi Islam mulai dari Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama semuanya digagas dari para haji dan orang yang mengenyam pendidikan Islam di Makkah. Bahkan, para pengurus top mereka saat itu berasal dari kalangan priayi Jawa dan abdi dalem keraton sebagai pusat kekuasaan dan budaya Jawa.
Ketegangan ini, misalnya, terlihat dalam kajian mendiang sejarawan Australia, MC Ricklefs, dalam bukunya yang legendaris Mengislamkan Jawa. Ricklefs mencatat hal seperti ini: Memang walaupun catatan statistik kolonial pada abad ke-19 tidak selalu bisa diandalkan, layak dicatat di sini bahwa pada tahun 1850, sejauh diketahui oleh pihak Belanda, hanya 48 orang dari daerah-daerah yang penduduknya berbahasa Jawa yang pergi haji.
Pada 1858, jumlahnya naik menjadi 2.283. Pada tahun-tahun selanjutnya sampai awal abad ke-20 biasa bahwa 1.500 hingga sekitar 4.000 orang pergi untuk menunaikan ibadah haji tiap-tiap tahunnya, dengan 7.600 orang dari wilayah-wilayah yang penduduknya berbahasa Jawa serta Madura berangkat haji pada tahun 1911.
Kaum kelas menengah Jawa di berbagai kota kecil dan besar sering kali juga memiliki hubungan bisnis dan lainnya dengan komunitas-komunitas Arab setempat. Ini pada gilirannya menjadi kanal lain untuk menyebarluaskan gagasan mengenai pemurnian ajaran Islam.
Gerakan reformasi Islam yang dipicu para haji di Jawa tidak selalu disambut hangat. Ini karena pengikut 'Sintesis Mistik' masih memiliki pengikut dalam jumlah besar. Ada banyak karya dari abad ke-19 yang mencerminkan sintesis ini dan tidak sedikit dari antara mereka yang mengkritisi gagasan-gagasan yang lebih reformis tersebut.
Jejak ini salah satunya terekam dalam sebuah sajak (tembang) yang sangat terkenal di Jawa, yakni Serat Wedhatama (kebijakan yang lebih agung), pangeran dan pujangga modern, Mangkunegara IV (1859-81) kala menasehati putra-putranya.
Jika kalian bersikeras meniru
Teladan Sang Nabi
Duhai, putra-putraku, kalian melakukan hal mustahil
Artinya kalian tak akan bertahan lama:
Oleh karena kalian ini orang Jawa
Sedikit saja sudahlah cukup
Mangkunegara IV juga mengkritik "kaum muda" yang membanggakan pengetahuan teologis mereka. Mereka itu disebutnya sebagai kaum ‘penipu’: "Aneh sekali mereka mengingkari kejawaan mereka/dan dengan segala upaya mengayunkan langah mereka ke Makkah untuk mencari pengetahuan."
Alhasil, bila kemudian di Jawa dahulu ada pameo peyoratif terhadap Islam dan para haji yang disebutnya tengah mencari tuyul dengan pergi ke Makkah, juga tak usah heran. Apalagi, ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa soal tuyul yang katanya bisa mencuri uang, mulai marak di Jawa sekitar tahun 1930 bersamaan dengan dengan semakin masifnya penggunaan uang kertas pada masa ‘Krisis Ekonomi Besar’ (Great Meleise) 1930 yang oleh orang Jawa disebut sebagai zaman meleset itu.
Selain itu, bila hari-hari ini masih ada tokoh yang sibuk "nyinyir" kepada busana kerudung yang katanya kalah indah dengan kebaya berkonde, pun tak perlu pura heran atau panik. Bagi orang yang tahu, jawabanya sepele saja: Coba pahami saja dia dari kelas priyayi mana keluarganya berasal.
Jadi, semua itu cerita lama yang terus berulang seperti pita kaset lagu lama yang rusak. Anggap saja itu lucuan dan kenaifan. Sebab, nyatanya peneliti asing yang sangat legitimate seperti MC Ricklefs telah menulis bila kini Jawa sudah semakin Islam dan tak ada lagi kemungkinan untuk balik lagi ke suasana zaman sebelumnya.