Pengadilan Jepang: Larangan Pernikahan Sejenis tidak Sesuai Hukum

Jepang merupakan satu-satunya anggota G7 yang tak punya perlindungan hukum LGBT.

MgRol112
Simbol LGBT (ilustrasi).
Rep: Amri Amrullah Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pengadilan Jepang pada Kamis (8/6/2023) mengatakan, larangan pernikahan sesama jenis adalah konstitusional, tetapi menimbulkan kekhawatiran tentang martabat dan hak asasi pasangan sesama jenis. Ini sebuah keputusan yang tidak sesuai harapan para aktivis, tetapi masih dilihat sebagai langkah maju.

Baca Juga


Keputusan pengadilan distrik Fukuoka tersebut dikeluarkan seminggu setelah pengadilan distrik lain, menegaskan pelarangan pernikahan sesama jenis adalah tidak konstitusional. 

Keputusan dari pengadilan distrik lain ini sempat membawa harapan akan perubahan di kalangan komunitas LGBTQ di Jepang. Hal itu karena Jepang satu-satunya negara di Kelompok Negara Tujuh yang tidak memiliki perlindungan hukum untuk pernikahan sesama jenis. 

Namun, keputusan Pengadilan Distrik Fukuoka ini membuat kelompok aktivis hak asasi terus memprotes pelarangan itu dan menganggapnya sebuah keputusan yang tidak sesuai dengan harapan.

Lima keputusan tentang pernikahan sesama jenis telah diputuskan di Jepang selama dua tahun terakhir. Dua menyimpulkan larangan itu inkonstitusional, satu mengatakan tidak, dan dua, termasuk hari Kamis, menegakkan larangan, tetapi mengangkat masalah hak lainnya.

Pengadilan Tokyo pada tahun lalu menguatkan larangan tersebut. Namun, keputusan Pengadilan Tokyo itu menekankan kurangnya perlindungan hukum bagi keluarga sesama jenis telah melanggar hak-hak mereka. Dan Pengadilan Fukuoka menyetujui keputusan Tokyo tersebut.

Pengadilan Fukuoka, tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis sesuai dengan konstitusi. Namun, pihaknya menilai hal itu bisa bertentangan dengan klausul yang mengatakan bahwa pernikahan dan masalah keluarga didasarkan pada martabat individu. Karena itu, mereka menyebutnya sebagai "kondisi inkonstitusional".

Kelompok aktivis hak asasi pembela pernikahan sejenis, Masahiro, yang juga penggugat keputusan itu mengaku merasa senang dengan tren keseluruhan di pengadilan. Ia yang hanya menyebutkan nama depannya mengatakan, mulai ada kemajuan.

"Empat dari lima putusan sejauh ini menyatakan bahwa tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis adalah inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi," ujarnya dalam sebuah konferensi pers.

"Rasanya seolah-olah kita mengambil langkah maju, jadi saya lega," katanya.

Jajak pendapat menunjukkan sekitar 70 persen publik mendukung pernikahan sesama jenis. Namun, partai konservatif Jepang, yang berkuasa di bawah Perdana Menteri Fumio Kishida menentangnya.

 

Pada Februari, Kishida memecat seorang ajudannya setelah ia memicu kemarahan dengan mengatakan bahwa orang-orang akan meninggalkan Jepang jika pernikahan sesama jenis diizinkan, dan bahwa ia tidak ingin tinggal berdampingan dengan pasangan lesbian, gay, biseksual, atau transgender.

Kishida tetap tidak berkomitmen mengenai masalah ini meskipun ada tekanan kuat dari negara-negara G7 lainnya, terutama Amerika Serikat, menjelang Jepang menjadi tuan rumah KTT para pemimpin G7 bulan lalu.

"Kami ingin agar keputusan ini menjadi pesan yang lebih kuat kepada parlemen bahwa undang-undang tersebut perlu diubah," ujar penggugat lain, yang diidentifikasi hanya sebagai Kosuke.

Lobi-lobi bisnis telah menyerukan perubahan, dengan alasan bahwa tanpa keragaman termasuk hak-hak LGBTQ, ekonomi terbesar ketiga di dunia ini tidak akan kompetitif secara global.

Lebih dari 300 kota di seluruh Jepang yang mencakup sekitar 65 persen populasi mengizinkan pasangan sesama jenis untuk membuat perjanjian kemitraan, namun hak-hak mereka masih terbatas. Pasangan tidak dapat saling mewarisi aset satu sama lain atau memiliki hak sebagai orang tua atas anak satu sama lain, dan kunjungan ke rumah sakit tidak dijamin.

Pemerintah Kishida berjanji untuk mengesahkan undang-undang yang mempromosikan "pemahaman" terhadap kaum LGBTQ sebelum KTT G7. Tetapi oposisi dari kaum konservatif menundanya sehingga versi yang lebih longgar kemungkinan besar baru akan dilakukan pemungutan suara minggu depan.

Rancangan awal menetapkan bahwa diskriminasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender "tidak boleh ditoleransi" telah diubah, menjadi "tidak boleh ada diskriminasi yang tidak adil", yang menurut para kritikus secara diam-diam mengizinkan kefanatikan.

Meskipun secara umum Jepang dianggap relatif liberal, anggota komunitas LGBTQ sebagian besar tidak terlihat sampai saat ini karena sikap konservatif.

Sikap Jepang ini berbeda dengan negara tetangganya, Taiwan, yang melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2019. Ini menjadikan Taiwan merupakan negara pertama di Asia yang melegalkan aturan pernikahan sesama jenis.

 

Selain Taiwan, calon terdepan untuk menjadi perdana menteri Thailand berikutnya pada hari Ahad berjanji untuk mengesahkan undang-undang yang mengizinkan pernikahan sesama jenis jika ia menjadi perdana menteri.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler