Khamenei: Kalau Memang Iran Inginkan Senjata Nuklir, Barat tak Bisa Halangi
Khamenei mendorong Pemerintah Iran terus bekerja sama dengan IAEA.
REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI – Pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei menyatakan, jika memang Iran ingin membuat senjata nuklir, Barat tak bisa menghalangi keinginan tersebut. Khamenei menyampaikan hal tersebut, Ahad (11/6/2023).
Selama ini, Iran menegaskan hanya mengembangkan program nuklir damai dan sesuai hukum internasional. Namun, Barat dan Israel menuding Iran mengembangkan senjata nuklir dan menjatuhkan sanksi ekonomi atas Teheran.
‘’Tuduhan Iran membuat senjata nuklir adalah bohong dan mereka (Barat) tahu itu. Kami tak menginginkan senjata nuklir karena alasan keyakinan agama kami. Jika tidak (kalau Iran memang ingin membuat senjata nuklir), Barat tak bisa menghentikan kami,’’ kata Khameni.
Ia menambahkan, menjalinkan kesepakatan dengan Barat terkait program nuklir tak masalah jika infrastruktur nuklir Iran tetap utuh. Ia menyampaikan hal ini di tengah upaya Teheran dan Washington menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
Kesepakatan ini melibatkan pula Rusia, Cina, Inggris, Prancis, dan Jerman, yang dibatalkan sepihak saat Donald Trump menjabat presiden. Beberapa bulan kedua negara melakukan pembicaraan tak langsung tapi mandek sejak September tahun lalu.
Baca Juga: Iran Sengaja Lakukan Pengayaan Uranium demi Tekan Barat Agar Cabut Sanksi
Kedua belah pihak menuding merekalah penyebab tak adanya kemajuan pembicaraan karena menyampaikan permintaan tak masuk akal. Khamenei menyatakan tak ada salahnya bersepakat, menyusul isu hampir tercapai kesepakatan antara AS dan Iran.
‘’Tak ada salahnya menjalin kesepakatan dengan Barat tetapi infrastruktur industri kami mestinya tak disentuh,’’ ujar Khamenei. Pada kesepakatan 2015, Iran membatasi pengayaan uranium dengan imbalan diangkatnya sanksi internasional atas Iran.
Lalu, Trump menarik diri dan menjatuhkan sanksi ekonomi ke Iran. Ini membuat Iran perlahan melepas dari ikatan kesepakatan itu, yang kemudian membangkitkan kecurigaan AS, Eropa, dan Israel bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir.
Namun, Khamenei menegaskan, Iran tak pernah berpikir membangun bom nuklir. Bahkan Khamenei mendorong Pemerintah Iran terus bekerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) terkait program nuklirnya.
Bulan lalu, IAEA melaporkan minim perkembangan soal sengketa program nuklir Iran. Termasuk memasang kembali sejumlah perangkat pemantau yang semula dipasang merujuk kesepakatan 2015 yang tahun lalu dibongkar Iran.
Tak akan kompromi
Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, membela pendekatan keras pemerintahan negaranya terhadap Barat. Kompromi, dianggapnya hanya akan mengundang permusuhan lebih lanjut dari musuh-musuh Iran.
Ia bahkan menyalahkan para demonstran yang selalu protes anti-pemerintah baru-baru ini, dengan menyebut mereka "preman dan penjahat.’’ Pernyataan Khamenei pada Ahad (4/6/2023), mencuat di tengah kebuntuan dengan negara Barat terkait program nuklir Iran.
Negara para Mullah itu, kini telah membuat kemajuan besar dalam lima tahun terakhir, sejak Presiden Donald Trump menarik AS dari perjanjian internasional yang membatasi program nuklir Iran. Bahkan Iran diyakini memiliki fasilitas nuklir baru di bawah tanah.
Fasilitas ini diyakini tak bisa ditembus rudal biasa sehingga relatif aman dari serangan. Hingga kini, AS belum kembali ke kesepakatan yang diteken pada 2015 itu.
Trump mengembalikan sanksi-sanksi yang bisa melumpuhkan Pemerintah Iran. Dampak sanksi itu mengakibatkan krisis ekonomi yang parah tetapi kondisi itu, tetap bisa membuat pemimpin Iran melakukan perlawanan.
Hal inilah yang membuat Iran memberikan dukungan pada invasi Rusia ke Ukraina, memasok drone bersenjata yang telah mendatangkan malapetaka di ibu kota Ukraina, Kiev.
"Beberapa orang keliru dengan berpikir jika mundur dari sikap kami dalam kasus-kasus tertentu, itu akan membuat permusuhan AS, arogansi global, atau Israel terhadap kami berkurang. Itu kesimpulan yang salah,’’ ujar Khamenei.
Dia berbicara pada pidato tahunan yang menandai wafatnya Ayatollah Ruhollah Khomeini, pendahulunya dan pendiri Republik Islam Iran.
Khamenei menyinggung protes nasional pada musim gugur lalu yang dipicu kematian perempuan berusia 22 tahun, Mahsa Amini, yang telah ditahan oleh polisi moralitas karena diduga melanggar aturan berpakaian yang ketat di negara itu.
Protes meningkat menjadi seruan untuk menggulingkan Republik Islam sebelum tindakan keras memadamkannya. Pihak berwenang Iran menuding aksi massa itu buah konspirasi asing tanpa memperkuat pandangannya itu dengan bukti.
Para demonstran mengatakan mereka memprotes penindasan dan salah urus ekonomi yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
"Menurut rencana, mereka mengira Republik Islam telah tamat dan mereka dapat menjadikan bangsa Iran sebagai budak. Orang-orang bodoh ini, sekali lagi, salah. Sekali lagi, mereka gagal mengenal rakyat kita," ujar Khamenei.