Tolak Gugatan, MK Putuskan Pemilu Tetap dengan Sistem Proporsional Terbuka
MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem pemilu tidak beralasan menurut hukum.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan terhadap sistem pemilihan umum (pemilu). Dengan demikian, sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka.
Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Alhasil, gugatan bernomor 114/PUU-XX/2022 itu gagal menjadikan pemilu sistem proporsional tertutup diberlakukan lagi.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK pada Kamis (14/6/2023).
Dalam pertimbangannya, MK menilai Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif. Sikap ini diambil MK setelah menimbang ketentuan-ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum.
"UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," ujar hakim MK Suhartoyo.
MK lebih mendukung sistem proporsional terbuka karena lebih mendukung iklim demokrasi di Tanah Air. Hal ini berkebalikan kalau sistem proporsional tertutup yang diterapkan.
"Sistem proporsional dengan daftar terbuka dinilai lebih demokratis," ujar Suhartoyo.
MK menegaskan pertimbangan ini...
MK menegaskan pertimbangan ini diambil setelah menyimak keterangan para pihak, di antaranya DPR, Presiden, KPU, ahli, saksi dan mencermati fakta persidangan. "Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk sepenuhnya," ujar Usman.
MK mengakui konstitusi Indonesia tak pernah mengatur jenis sistem yang dipakai dalam pelaksanaan pemilu. MK menyadari pilihan sistem pemilu itu menjadi wewenang pembentuk undang-undang.
Sikap tersebut diambil MK dengan merujuk sejarah penyelenggaraan pemilu di Tanah Air. MK bahkan mempertimbangkan pandangan para founding father dalam perkara pemilu ini.
"Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama ketentuan- ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum, khusus berkenaan dengan pemilihan umum anggota legislatif, in casu pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif," kata hakim MK Suhartoyo ketika membacakan pertimbangan putusan.
Suhartoyo menyatakan UUD 1945 hasil perubahan sebenarnya tak menentukan sistem pemilihan umum bagi legislatif. "UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," ujar Suhartoyo.
Tercatat, ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat yang disampaikan hakim MK, yakni Arief Hidayat. Arief menawarkan opsi sistem proporsional terbuka terbatas agar diterapkan pada pemilu berikutnya. Sebab kalau digunakan pada saat ini menurutnya masih belum memadai.
"Dalam rangka menjaga agar tahapan pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada pemilu tahun 2029," kata Arief dalam sidang pembacaan putusan perkara sistem pemilu di gedung MK pada Kamis, (15/6/2023).
Arief bersikukuh agar gugatan terkait sistem Pemilu diterima sebagian. Ia memaparkan argumentasi pemohon sebenarnya pantas dikabulkan sebagian.
"Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian," ujar Arief yang juga menjabat ketua umum DPP Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) masa bakti 2021-2026.