Polemik RUU Kesehatan, DPR Terbelah 7-2, dan Ancaman Gugatan IDI

Dari 9 fraksi, 2 fraksi menolak RUU kesehatan dan IDI juga ancam akan menggugatnya.

Republika/Prayogi
Massa dari tenaga medis dan kesehatan menolak pembahasan RUU Kesehatan. Dari 9 fraksi, 2 fraksi menolak RUU kesehatan dan IDI juga ancam akan menggugatnya.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi IX DPR telah menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan dan akan segera disahkan menjadi UU. Mereka pun melakukan pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU yang menggunakan metode omnibus law tersebut.

Baca Juga


"Kita perlu mengambil persetujuan bersama, apakah naskah RUU ini disepakati untuk ditindaklanjuti pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna?" tanya Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan dijawab setuju, Senin (19/6/2023).

Panitia kerja (Panja) Komisi IX menjelaskan, ada 12 poin yang akan diatur dari RUU yang menggunakan metode omnibus law tersebut. Pertama adalah penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pemenuhan kesehatan. Kedua, penguatan penyelenggaraan upaya kesehatan dengan mengedepankan hak masyarakat dan tanggung jawab pemerintah.

"(Tiga) Penguatan pelayanan kesehatan primer yang berfokus ke pasien, serta meningkatkan layanan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, serta bagi masyarakat rentan," ujar Ketua Panja RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena.

Keempat, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan untuk kemudahan akses bagi masyarakat. Selanjutnya, penyediaan tenaga medis dan tenaga kesehatan melalui peningkatan penyelenggaraan pendidikan spesialis/sub-spesialis melalui satu sistem pendidikan dengan dua mekanisme.

Enam, transparansi dalam proses registrasi dan perizinan, serta perbaikan dalam perbaikan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri melalui uji kompetensi yang transparan. Tujuh, penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan melalui penyelenggaraan rantai pasok dari hulu ke hilir.

"(Delapan) Pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan," ujar Melki.

Poin kesembilan, penguatan dan pengintegrasian sistem informasi kesehatan. Ke-10, penguatan kedaruratan kesehatan melalui tata kelola kewaspadaan, penanggulangan, dan pascakejadian luar biasa (KLB) dan wabah.

Ke-11, penguatan pendanaan kesehatan. Terakhir, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait untuk penguatan sistem kesehatan.

Menolak Disahkan

DPR RI dan Pemerintah sepakat membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan ke Rapat Paripurna untuk disahkan jadi UU. Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS yang menolak.

Dalam pandangannya, Partai Demokrat menilai pembahasan RUU ini terlalu terburu-buru. Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat, Aliyah Mustika Ilham mengatakan, ada persoalan mendasar dalam RUU kesehatan.

Ia menekankan, Partai Demokrat sendiri mengusulkan peningkatan anggaran kesehatan di luar gaji dan PPI, tapi tidak disetujui. Bahkan, Aliyah mengungkapkan, pemerintah justru memilih mandatory spending dihapus.

Aliyah menekankan, ketetapan untuk dokter-dokter asing sebaiknya tetap mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia. Dari sana, ia berharap, tenaga-tenaga medis di Indonesia mendapatkan kesempatan yang setara.

Ia menegaskan, Demokrat terbuka atas kehadiran dokter asing. Tapi, tetap mengedepankan seluruh dokter lulusan Indonesia atau luar negeri diberi pengakuan yang layak dan kesempatan yang setara dalam kembangkan karier.

"Dokter asing harus tunduk dan patuh pada aturan yang berlaku. RUU kurang beri ruang pembahasan yang panjang dan terkesan terburu-buru. Dengan ini, Fraksi Demokrat menolak RUU Kesehatan dibahas menjadi UU," kata Aliyah, Senin (19/6).

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Netty Prasetiyani mengingatkan, jangan sampai RUU ini jadi UU tapi menimbulkan polemik di masyarakat. Misal, UU yang baru diundangkan diuji ke MK seperti UU Cipta Kerja.

"Pembahasan RUU relatif cepat, diperlukan waktu lebih panjang agar mendalam dan kaya masukan. Menimbang beberapa hal, PKS menolak RUU Kesehatan dilanjutkan pada tahap selanjutnya," ujar Netty.

Ancam Gugat dan Mogok Massal

Ketua Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi mengatakan, pihaknya bersama empat organisasi kesehatan lain berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah itu, kata dia, akan dilakukan jika RUU Kesehatan berlanjut ke tingkat dua dan langsung disahkan menjadi Undang-Undang.

Dalam konferensi pers di Kantor Pusat IDI, Adib menjelaskan, melalui regulasi dalam RUU Kesehatan pihaknya tidak menginginkan adanya aturan yang merugikan profesi maupun masyarakat luas. Sebab itu, kata dia, atas dasar kajian hukum yang sudah disampaikan, tuntutan menolak RUU Kesehatan akan terus dilakukan.

"Dan apabila ini nanti berlanjut kepada tingkat II dan disahkan pada tingkat II, maka kami akan siapkan proses juddcial review di Mahkamah Konstitusi," jelas Adib di kantornya, Senin (19/6/2023).

Diketahui, lima organisasi yang siap mengajukan judicial review ke MK itu di antaranya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Menurut Adib, pilihan mogok kerja massal tenaga kesehatan bersama organisasi lain, akan dilakukan selain dari upaya advokasi lainnya. "Opsi mogok tetap jadi satu pilihan yang akan mungkin bisa kami lakukan. Itu sebuah hal yang saya kira perlu jadi perhatian," kata Adib.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler