Benarkah Sponsor Pendiri Al-Zaytun dan Masjid At-Tin Sama? Ini Kata Amien Rais

Amien Rais tidak menyebut secara detail siapa sponsor pendiri Al Zaytun.

Republika/M Fauzi Ridwan
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais menjadi khatib pada shalat Idul Adha 1444 Hijriah yang digelar di Lapangan Transmart Mal, Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Rabu (28/6/2023). Ribuan jamaah mengikuti shalat Idul Adha tersebut.
Rep: Fauzi Ridwan/Andrian Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais menduga  sponsor dari pendirian Pondok Pesantren Al-Zaytun sama dengan yang mendirikan Masjid At-Tin.  Namun, Amien Rais enggan memberitahukan secara detail pihak-pihak yang dimaksud.

Baca Juga


"Jadi caranya melihat mudah sekali, wat-tini waz-zaitun. Masjid At-Tin dan pesantren Zaytun saya kira sama sponsornya tidak usah mendetail," ujarnya, Rabu (28/6/2023). 

Ponpes Al Zaytun diketahui didirikan oleh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang pada 1996. Selepas pendirian ponpes itu, sejumlah kontroversi pun muncul. 

Terakhir misalnya, saat seorang wanita shalat berada di shaf terdepan. Polisi hingga kini masih menyelidiki sejumlah pernyataan dari Panji Gumilang apakah masuk dalam ranah pidana atau bukan. 

Sementara itu, Masjid Agung At-Tin mulai dibangun pada bulan April 1997 dengan peletakan batu pertama pada 23 Agustus 1997. Masjid ini berdiri megah di kawsan TMII. Masjid tersebut diketahui didirikan oleh keluarga Soeharto untuk mengenang mantan ibu negara, Ibu Hj Fatimah Siti Hartinah Soeharto atau dikenal Ibu Tien

Pengamat Terorisme, Al Chaidar, tak menampik bahwa eksistensi Panji Gumilang sebagai pemimpin Al Zaytun sekaligus NII KW 9 sejatinya tak lepas dari program defeksi pemerintah Orde Baru.

Ia mengatakan untuk menangani orang-orang yang anti terhadap Pancasila, pemerintah Orde Baru berupaya untuk mengumpulkan mereka yakni memiliki ide-ide mendirikan negara Islam. 

Namun demikian, program defeksi yang dikembangkan pemerintah justru menjadi berlebihan.

 

 

"Sehingga kemudian program ini menjadi blunder dan itu bisa kita lihat di dalam kasus Al Zaytun ini.  Dalam Al Zaytun ini kita bisa melihat bagaimana kemudian Panji Gumilang yang sebenarnya bukanlah intelijen, dia adalah orang yang direkrut oleh intelijen untuk dijadikan salah satu partner, bukan sebagai agen, kalau agen itu orang yang berada di lingkaran Intelijen itu sendiri," katanya.  

 "Sementara di luar luar lingkaran itu tetapi mendapat proteksi dan dukungan yang sangat besar sangat masif itu disebut partner," kata Al Chaidar.

Untuk mengembangkan program defeksi tersebut, menurut Al Chaidar, Panji Gumilang yang menjadi partner intelijen harus dapat merebut faksi NII. Ia kemudian berhasil merebut faksi NII KW 9 yang pada awalnya dipimpin oleh Adah Jaelani.

"Kemudian dia (Panji Gumilang) merebut kekuasaan dari mereka mereka itu. Orang yang sudah tidak lagi menjabat itu  direkayasa sehingga mereka tertangkap, setelah tertangkap kepemimpinan jatuh kepada Abu Maarik alias Abu Toto (Panji Gumilang," katanya. 

Menurut Al Chaidar hanya 10 persen yang digunakan PG untuk pembangunan Al Zaytun dan berbagai programnya yang lain, sementara 90 persen dikuasai Panji Gumilang dan turut mengalir ke para jenderal-jenderal Orde Baru.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler