Gempa Terkini Yogyakarta, Begini Tata Cara Sholat Ketika Bencana

Ada beberapa penyesuaian yang dapat dilakukan dalam tata cara sholat.

ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Warga menunjukkan rumah yang roboh di Buruhan, Tirtosari, Kretek, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (30/6/2023). Menurut data BPBD DIY, gempa bumi berkekuatan Magnitudo 6,4 yang berpusat 86 kilometer barat daya Kabupaten Bantul berdampak di 19 titik yang tersebar di Kabupaten Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul.
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gempa terkini berkekuatan Magnitudo 6,4 skala richter mengguncang daerah Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (30/6/2023) pukul 19.57 WIB. Dalam kondisi bencana seperti ini, penting bagi umat Islam untuk tetap menjalankan kewajiban sholat. 

Baca Juga


Namun, ada beberapa penyesuaian yang dapat dilakukan dalam tata cara sholat untuk mengakomodasi situasi darurat tersebut. Lalu, bagaimana tata cara sholat dalam kondisi darurat bencana?

Tata Cara Sholat Saat Bencana 

Dilansir dari situs resmi Muhammadiyah, pada saat masyarakat sedang mengalami bencana atau dalam kondisi siaga bencana, maka pelaksanaan sholat dapat menggunakan prinsip rukhsah (keringanan). Jadi, sholat dapat dilakukan dengan dijamak.

Pelaksanaan sholat dengan cara dijamak, dapat dilakukan dengan cara taqdim atau ta’khir. Dalil dari pelaksanaan sholat jamak dalam situasi bencana adalah hadits berikut ini.

"Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah SAW shalat Zuhur dan Ashar di Madinah secara Jamak, bukan karena takut, dan juga bukan dalam perjalanan”. Abu Az Zubair berkata, “Saya bertanya kepada Sa’id, mengapa beliau berbuat demikian?" Lalu dia menjawab, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana engkau bertanya demikian kepadaku”. Ibnu Abbas berkata, “Beliau (Rasulullah) menghendaki agar tidak menyulitkan seseorang pun dari ummatnya”. (HR Muslim).

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW diceritakan menjamak sholat tidak dalam situasi bencana atau ketakutan, melainkan dalam kondisi normal. Maknanya, dalam situasi bencana maka sholat jamak dapat dilakukan.

Dalam situasi bencana, bagi siapa saja yang mengalami kesulitan untuk berdiri dalam melaksanakan sholat karena cedera yang menimpanya atau karena alasan lain, maka ia bisa mengerjakannya dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, ia bisa melakukanya sambil berbaring. Sebagaimana kaidah ushul fikih menyebutkan,

إنّ تعذّر الأصل يصار إلى البدلَ

Apabila uzur atau berhalangan pada yang asal (pokok/dasar), maka dialihkan pada penggantinya.

Tata cara sholat saat evakuasi korban...

 

 

Bagaimana tata cara sholat pada saat evakuasi korban bencana?

Orang yang berada dalam situasi evakuasi di mana mereka tidak sempat sholat, maka kewajiban sholat tidak gugur bagi mereka. Karena sholat adalah kewajiban yang tidak dapat digugurkan kecuali karena alasan: Hilang akal sehat (gila dan semacamnya), haid atau nifas bagi perempuan.

Dalam kondisi sholat tidak dapat dilakukan pada waktunya karena alasan darurat, maka sholat dapat dilakukan pada waktu yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya). Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk menqadha sholat terutama bagi mereka yang tidak melaksanakan sholat.

Akan tetapi jika ada seseorang yang tertidur atau karena lupa, maka yang bersangkutan melakukan sholat ketika ia terbangun atau ketika ingat, sebagaimana dinyatakan oleh hadits,

Dari Abu Qotadah Ra, dia berkata, “Para sahabat memberitahu kepada Nabi SAW bahwa mereka tertidur sehingga luput sholat (pada waktunya), maka Nabi SAW bersabda, “Tidak ada kelalaian karena ketiduran. Sesungguhnya lalai itu dalam keadaan terjaga. Maka apabila seseorang dari kalian lupa atau tertidur sehingga luput sholatnya, maka kerjakanlah sholat itu apabila telah ingat” (HR At Tirmidzi).

Permasalahan kehilangan waktu sholat karena situasi evakuasi dapat diqiyaskan dengan orang yang tertidur dan lupa. Illatnya (sebabnya) adalah sama-sama luput dari sholat secara tidak sengaja.

Lalu, berapa batasan waktu jamak pada saat bencana?

Dalam hadits Nabi SAW disebutkan bahwa bagi yang dalam kondisi safar (perjalanan) batasan waktu jamak dan qashar baginya adalah 19 hari.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dia berkata, “Nabi SAW tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu sholat qashar. Maka apabila Kami berpergian selama sembilan belas hari selalu mengqashar sholat, dan apabila lebih, Kami menyempurnakannya (HR Bukhari).

Sedangkan bagi yang berada dalam kondisi bencana, tidak ada batasan pasti kapan paling lama jamak dilakukan. Batasan sebenarnya adalah hilangnya kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) itu sendiri. Jadi, jika situasi yang menyulitkan untuk sholat tanpa jamak berlangsung lama, maka selama waktu tersebutlah jamak dapat dilakukan. 

 

Sumber: Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah Jilid 3, Bagian Keempat, Pembahasan Kedua tentang Fikih Kebencanaan. Hal. 674-676

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler