Ilmuwan Muslim tak Dikenal Tapi Kemudian Mengubah Ilmu Kedokteran Dunia

Manuskrip ini jadi temuan yang mengubah ilmu kedokteran khususnya sirkulasi darah.

wikipedia
Ilustrasi ilmuwan Islam.
Rep: Umar Mukhtar Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awalnya Ibnu Al Nafis tidak terkenal sebagaimana julukan yang sekarang disematkan oleh dunia kepadanya, 'Bapak Fisiologi Sirkulasi Darah'. Sumbangsihnya pada keilmuan kedokteran dunia pun tidak terlihat.

Baca Juga


Hingga akhirnya, pada 1924, seorang dokter Mesir yang sedang belajar di Jerman, menemukan manuskrip berjudul Syarh Tasyrih Al-Qonun li Ibnu Sina (Penjelasan Anatomi Hukum Ibnu Sina).

Manuskrip ini jadi temuan yang mengubah ilmu kedokteran khususnya pada sirkulasi darah, yang telah diyakini sebelumnya di dunia.

Dari manuskrip tersebut, diketahui bahwa penemuan sirkulasi darah dalam tubuh manusia adalah milik seorang dokter Muslim dari abad ke-13 bernama Ibnu Al Nafis.

Sebelum manuskrip Ibnu Al Nafis itu ditemukan, para ahli kedokteran meyakini bahwa darah terbentuk di hati atau limpa, kemudian mengalir melalui pembuluh darah setelah melewati jantung. Pandangan ini terpatahkan oleh penemuan Ibnu Al Nafis.

Ibnu Al Nafis kemudian dianggap sebagai salah satu cendekiawan Muslim besar yang meninggalkan jejaknya dalam sejarah manusia. Terutama di bidang kedokteran melalui penemuan-penemuan ilmiah, yang terbukti mengungguli dokter Inggris William Harvey yang selama empat abad dianggap sebagai orang yang menemukan sirkulasi darah.

Sistem sirkulasi darah yang ditemukan Ibnu Al Nafis juga mengoreksi apa yang diyakini Ibnu Sina dan Klaudius Galenus yaitu darah dihasilkan dari hati atau limpa lalu mengalir melalui pembuluh darah setelah melewati jantung.

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Adapun berdasarkan penemuan mikrosirkulasi Ibnu Al Nafis, ada proses sirkulasi yang disebut sirkulasi pulmonal yang juga dikatakan sebagai sirkulasi paru. Dalam pembuluh darah yang kecil terdapat udara yang diserap dari paru-paru, lalu darah itu dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh.

Dengan kata lain, darah yang telah bercampur dengan oksigen, dari paru-paru kemudian masuk melalui vena pulmonari ke serambi kiri jantung. Darah bersih ini sampai ke bilik kiri, untuk kemudian dipompa ke seluruh tubuh.

Ibnu Al Nafis tidak mendapat tempat untuk populer atas penemuannya itu. Meski demikian, dokter asal Mesir, Muhyiddin Al Tatawi mengungkap kehebatan Ibnu Al Nafis pada 1924 saat sedang mengerjakan disertasi doktoralnya di Jerman berjudul 'Ad-Damawiyah Ar-Ri'awiyah wafqon lil Qurosyi' (Hematologi Paru Menurut Al Qurosyi).

Saat itu Al Tatawi sedang melihat manuskrib Arab di Perpustakaan Berlin Jerman, lalu menemukan manuskrip Ibnu Al Nafis berjudul 'Syarh Tasyrih Al-Qonun li Ibnu Sina' yang berarti 'Penjelasan Anatomi Hukum Ibnu Sina'.

Al Tatawi tertarik mempelajari manuskrip itu dan biografi pemiliknya. Sehingga dia memutuskan untuk menulis disertasinya tentang Ibnu Al Nafis dan menyerahkannya kepada Universitas Freiburg Jerman.

Awalnya, Al Tatawi tidak percaya dengan apa yang ada dalam penelitian ilmiahnya itu. Dia pun meminta bantuan seorang dokter yang juga orientalis asal Jerman, Otto Meyerhof, yang saat itu berada di Kairo. Dia dikirimi salinan surat Al Tatawi, untuk dimintai pendapatnya.

Meyerhof mendukung apa yang tercantum dalam surat Al Tatawi, dan menyampaikan kepada sejarawan Amerika asal Belgia, George Sarton, terkait kebenaran yang diungkap oleh Ibnu Al Nafis. George Saton kemudian menerbitkan fakta ini di bagian terakhir bukunya "The History of Science". Sedangkan Meyerhof berinisiatif mencari manuskrip Ibnu Al Nafis yang lain.

Meyerhof menerbitkan hasil penelitiannya dalam berbagai artikel, dan sejak itu minat terhadap pemikiran ilmuwan Muslim Ibnu Al Nafis mulai meningkat. Warisan ilmiah dan filosofis Ibnu Al Nafis ditemukan kembali oleh para sarjana dan sejarawan modern.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler