Wakil Ketua MPR: Putusan Nikah Beda Agama Bertolak Belakang dengan Pancasila
Wakil Ketua MPR Yandri Susanto ke MPR siang ini untuk gugat putusan nikah beda agama.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tentang nikah beda agama menuai polemik di tengah publik. Putusan itu digugat Wakil Ketua MPR RI, Yandri Susanto, dan Pengurus Besar (PB) Al Khairiyah.
"Saya sebagai warga negara biasa dan ya saya ikut menjadi penggugat," kata Yandri kepada Republika.co.id, Selasa (11/7).
Ia menekankan, putusan perlu dibatalkan karena memang persoalan serius yang mengancam masa depan anak-anak bangsa. Karena itu, Yandri dan Ketua PB Al Khairiyah secara langsung akan ke MA untuk menggugat putusan itu.
"Jam 13.00 nanti diterima ketua bidang perdata (MA)," ujar Yandri.
Wakil Ketua Umum PAN itu meminta MA segera membatalkan putusan PN Jakpus yang mengabulkan tentang pernikahan beda agama. Sebab, itu jadi putusan rancu karena dalam UUD 45 sudah diatur dan sifatnya final dan mengikat.
Maka itu, ia mengaku heran atas sikap PN Jakpus yang bisa berbeda dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Yandri mempertanyakan apakah hakim-hakim itu PN Jakpus tidak memiliki pemahaman atau terdapat sesuatu di balik itu.
Yandri berharap, dalam satu negara ini berlaku produk-produk hukum yang sama, sehingga rakyat tidak keliru dan tidak susah mencari mana aturan hukum yang harus ditaati. Apalagi, MK sudah menolak gugatan tersebut.
"Artinya, sejatinya itu tidak perlu lagi diotak-atik oleh lembaga hukum yang lain, termasuk Majelis Ulama Indonesia sudah juga memberikan fatwa tahun 2005 ini juga sama," kata Yandri.
Ia menilai, putusan PN Jakpus itu bertolak belakang dengan Pancasila. Terutama, sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mana mengatur tentang bagaimana seluruh warga negara wajib menganut agama.
"Mencampur adukkan atau mengintervensi persoalan agama melalui pengadilan, saya kira tidak pas," ujar Yandri.
Sikap PN Jakpus yang membolehkan nikah beda agama dan bertentangan dengan aturan-aturan yang ada sudah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, jika itu tetap dilegalkan.
"Kami menganggap kalau itu tetap dilegalkan, itu artinya, PN Jakpus menurut syariat Islam itu melegalkan perzinaan dan saya kira tidak boleh untuk kita setujui," kata Yandri.