Tradisi Mbradu: Dugaan Penyebab Kasus Antraks di Gunungkidul
Beberapa waktu lalu Gunungkidul digemparkan oleh meninggalnya seorang warga akibat mengonsumsi daging sapi yang mati karena sakit.
Beberapa waktu lalu Gunungkidul digemparkan oleh meninggalnya seorang warga akibat mengonsumsi daging sapi yang mati karena sakit. Kronologi awal bermula dari penyembelihan sapi yang sudah mati dan dagingnya dibagikan ke warga yang lain. Setidaknya terdapat 125 orang yang mengalami kontak dengan daging tersebut. Dari tes darah yang dilakukan, 85 orang terindikasi positif antraks, namun yang mengalami gejala seperti bengkak, diare, dan luka-luka terdapat 18 orang.
Selain itu, dilakukan pula uji sampel tanah disekitar daerah yang terkena antraks, mulai dari tempat penyembelihan hewan dan tempat pemotongan hewan untuk melihat jejak spora antraks. Apabila di tempat tersebut masih banyak terdapat spora, maka perlu untuk melakukan tindakan lanjut dengan memberi disinfektan.
Ternyata kejadian ini bukanlah yang pertama kali, berdasarkan data yang disampaikan oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY, setidaknya dari tahun 2019 sampai 2023, hampir setiap tahun Gunungkidul menjadi langganan penyakit yang dipicu oleh bakteri ini. Sebagai informasi, antraks adalah penyakit zoonosis yang penularannya terjadi dari hewan ke manusia atau sebaliknya, namun tidak bisa ditularkan sesama manusia. Infeksi antraks pada manusia tidak hanya menyerang kulit, namun bisa pula menyerang saluran pencernaan dan pernafasan. Apabila bakteri antraks telah masuk ke dalam perut manusia, maka ini yang berbahaya.
Hewan ternak dapat terinfeksi antraks apabila memakan pakan atau air minum yang telah terkontaminasi spora, bisa juga terinfeksi akibat spora mengenai bagian tubuh yang memiliki luka terbuka. Lebih lanjut, ternak penderita antraks bisa menularkan penyakitnya ke ternak lain melalui cairan yang keluar dari tubuhnya. Tanah disekitarnya juga akan tercemar akibat cairan tadi dan menjadi sumber munculnya wabah secara berulang.
Tradisi Mbradu yang dikaitkan dengan penyakit ini merupakan tradisi yang masih melekat di Gunungkidul. Tradisi dilakukan dengan menyembelih sapi yang sakit atau sekarat, lalu dagingnya dijual dengan harga yang lebih murah. Masyarakat Gunungkidul percaya bahwa tradisi ini memiliki tujuan yang baik karena dinilai dapat membantu sesama. Namun menyembelih sapi yang sakit atau bahkan mati secara mendadak untuk dikonsumsi tidak bisa dibenarkan, dengan tujuan baik apapun. Bukannya membantu sesama, tradisi ini malah berubah menjadi malapetaka bagi warganya.