Ulama dan Pesantren Diminta Rekontekstualisasi Kitab Kuning
Kitab kuning merupakan referensi kaum santri dan keislaman di Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, LAMONGAN -- Ulama dan pesantren dituntut mengembangkan cara pandang baru dalam berpegang pada literasi yang selama ini digunakan, yaitu kitab kuning. Hal itu disampaikan tokoh Nahdlatul Ulama, KH. Ulil Abshar Abdalla pada pembukaan Halaqah Ulama Nasional yang digelar Rabithah Ma'ahid al-Islamiyah PBNU di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Rabu (12/7).
Bila tidak, kata Gus Ulil, berbagai problematika zaman saat ini tidak akan dapat dipecahkan umat Islam. "Kita memerlukan rekontekstualisasi kitab kuning, sehingga dengan referensi yang sama dapat memecahkan persoalan zaman ini," kata Gus Ulil.
Gus Ulil pun menyoroti cara umat Islam di Indonesia, khususnya warga NU, yang bermazhab kepada Imam Syafi'i dan mengakui tiga imam lainnya, tetapi masih sangat tekstual memahami literatur. Ia mengatakan, PBNU dalam Munas 1992 telah mencetuskan rumusan baru dalam metode istimbath hukum, yaitu istimbath manhaji (metodis) bukan qauli atau letterlijk.
Artinya, pemahaman terhadap literasi klasik harus mengadopsi prinsip, cara pandang, dan membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan sosial serta perkembangan zaman saat ini. Hal ini mendesak dilakukan karena selama ini bahtsul masa'il ulama NU sering mengambil kesimpulan "mauquf" atau tanpa keputusan. Padahal umat membutuhkan keputusan yang tegas dan operasional.
Gus Ulil berpendapat, halaqah ulama menjadi agenda penting untuk menentukan peta jalan menyambut peradaban baru yang adil, harmonis, dan penghargaan atas kesetaraan dan martabat manusia berdasarkan khazanah pondok pesantren. "Peta jalan zaman baru ini haruslah tetap bertumpu pada tradisi masyarakat Indonesia yang khas," ujarnya.
Kitab kuning, yang kebanyakan ditulis pada abad pertengahan atau abad ke 5-15 Masehi menurutnya harus dilakukan rekontekstualisasi atau revitalisasi yang berpijak pada prinsip mengambil hal baru yang lebih baik. Jadi, lanjut Gus Ulil, tantangannya bagaimana ulama membaca kitab tradisional dalam konteks peradaban baru.
Sebenarnya, lanjut Gus Ulil, langkah tersebut telah dilakukan PBNU dalam banyak hal. Misalnya keputusan PBNU menerima NKRI dan ideologi Pancasila sebagai bentuk final negara ini. Putusan tersebut diambil pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Salah satu isi keputusanya yakni para Kyai menyatakan bahwa bentuk negara khilafah tidak sesuai dengan keadaan sekarang.