Swatch Gugat Pemerintah Malaysia karena Sita Jam Tangan Edisi LGBTQ
Swatch menuntut kompensasi dan pengembalian 172 jam tangan yang disita Malaysia
REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Swatch telah menggugat Pemerintah Malaysia atas penyitaan jam tangan LGBTQ yang dirilis bertepatan dengan perayaan Pride Month. Dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tinggi di Kuala Lumpur, pembuat jam tangan Swiss tersebut menuntut kompensasi dan pengembalian 172 jam tangan yang disita oleh pejabat terkait dugaan elemen LGBTQ.
Dalam gugatannya, Swatch mengatakan, penyitaan jam tangan, senilai 64.795 ringgit atau 14.232 dolar AS itu tidak memiliki dasar hukum. Swatch mengatakan, jam tangan itu tidak ada hubungannya dengan aktivisme LGBTQ.
“Tanpa ragu, jam tangan yang disita dengan cara apa pun tidak menyebabkan gangguan terhadap ketertiban umum atau moralitas atau pelanggaran hukum apa pun,” demikian pernyataan Swatch dalam gugatan yang diajukan pada 24 Juni dan pertama kali dilaporkan oleh Malay Mail, Senin (17/7/2023).
Pada Mei, Kementerian Dalam Negeri Malaysia menyita jam tangan produksi Swatch karena menampilkan warna pelangi yang terkait dengan LGBTQ. Penyitaan ini berlangsung di sejumlah pusat perbelanjaan di seluruh negeri.
Kepala Eksekutif Grup Swatch Nick Hayek pada saat itu mempertanyakan alasan mengapa perdamaian dan cinta dapat membahayakan serta mengancam keamanan. Kementerian Dalam Negeri dan Swatch tidak segera menanggapi permintaan komentar ataa gugatan itu.
Malaysia, yang berpenduduk sekitar 60 persen Muslim, mengkriminalkan aktivitas seksual antara sesama jenis. Malaysia menjatuhkan hukuman yang mencakup hukuman cambuk dan penjara bagi pelaku homoseksual.
Kelompok hak asasi telah menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya intoleransi terhadap minoritas seksual di Malaysia. Negara itu memiliki sistem hukum ganda yang melarang mayoritas Melayu-Muslim terlibat dalam ekspresi seksual atau gender yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pada Mei, dua anggota parlemen dari Partai Islam Pan-Malaysia (PAS), partai terbesar di parlemen, mengatakan bahwa kaum LGBTQ harus diklasifikasikan sebagai penderita penyakit mental. Tahun lalu, polisi Islam menangkap 20 Muslim dalam pesta Halloween karena sejumlah pelanggaran termasuk melakukan cross-dressing atau berpakaian, seperti lawan jenis, dan tindakan tidak senonoh di depan umum.