HRW: Junta Myanmar Langgar Lima Poin Konsensus ASEAN Setiap Hari

Kekerasan junta, terutama terhadap etnis Rohingya, terus berlangsung.

EPA-EFE/MONIRUL ALAM
HRW mengungkapkan, kekerasan junta, terutama terhadap etnis Rohingya, terus berlangsung.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Organisasi hak asasi manusia (HAM) Human Rights Watch (HRW) mengatakan, pelanggaran terhadap Lima Poin Konsensus (Five Points of Consensus) oleh junta Myanmar terjadi setiap hari. HRW mengungkapkan, kekerasan junta, terutama terhadap etnis Rohingya, terus berlangsung.

“Setiap hari junta melanggar Lima Poin Konsensus ASEAN dan resolusi Dewan Keamanan PBB, sambil mengabaikan seruan dari Dewan HAM dan Majelis Umum PBB. Namun ia menghadapi sedikit dampak atas pelanggarannya,” kata HRW dalam sebuah pernyataan yang diunggah di situs resminya, Rabu (19/7/2023).

HRW menyinggung tentang topan Mocha yang menerjang Myanmar pada Mei lalu. Menurut HRW, sekitar 600 ribu penduduk Rohingya terjebak dan terekspose di jalur topan. ASEAN mengungkapkan, 145 orang tewas akibat terjangan Mocha. Sementara pemerintahan bayangan Myanmar, National Unity Government (NUG) menyebut, bencana Mocha membunuh setidaknya 463 orang.

“Dalam minggu-minggu setelah topan Mocha menghantam, junta militer Myanmar memblokir bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa di Negara Bagian Rakhine yang menempatkan ribuan nyawa dalam bahaya langsung. Rohingya memberi tahu kami bahwa mereka menghadapi tingkat kebutuhan yang sangat besar yang belum tertangani, termasuk penyakit yang ditularkan melalui air, kelaparan dan kekurangan gizi, dan berlindung di tenda-tenda yang terbuat dari puing-puing,” ungkap HRW.

HRW berpendapat, pencegahan bantuan kemanusiaan oleh junta Myanmar merupakan simbol dari strategi “four cuts” militer yang sudah berlangsung lama. Strategi itu bertujuan mempertahankan kendali atas suatu daerah dengan mengisolasi dan meneror penduduk di dalamnya.

“Pembatasan (bantuan) ini juga menggarisbawahi bahwa kondisi untuk kembalinya pengungsi Rohingya yang aman, berkelanjutan, dan bermartabat dari Bangladesh saat ini tidak ada. Menyerukan repatriasi sekarang berarti mengirim pengungsi kembali ke kendali junta yang kejam dan represif, menyiapkan panggung untuk eksodus dahsyat berikutnya,” kata HRW.

HRW mengungkapkan kekejaman militer terhadap Rohingya dan pelanggaran pasca-kudeta terhadap pemerintahan sipil Myanmar berpotongan dengan krisis yang menuntut tanggapan terkoordinasi. “Hak-hak Rohingya terikat dalam situasi HAM yang lebih luas di Myanmar – keduanya bergantung pada pembentukan pemerintahan demokratis sipil di Myanmar, penghormatan terhadap hak-hak dasar semua minoritas Myanmar, dan pertanggungjawaban para jenderal atas kejahatan kekejaman mereka,” katanya.

Isu Myanmar sangat kompleks....

Baca Juga


Isu Myanmar disorot dalam perhelatan ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) ke-56 dan Post Ministerial Conference (PMC) yang digelar di Jakarta pada 11-14 Juli 2023 lalu. Indonesia selaku ketua ASEAN tahun ini mengklaim sudah melakukan keterlibatan ekstensif dan intensif dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan di Myanmar. Namun aksi kekerasan di sana masih berlangsung.

“Isu Myanmar sangat kompleks. ASEAN harus melakukan hal yang tepat sejalan dengan Lima Poin Konsensus (Five Points of Consensus),” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat memberikan keterangan pers di hari terakhir perhelatan AMM/PMC yang digelar di Hotel Shangri-la, Jumat (14/7/2023).

Dia menekankan, Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini akan terus mengambil langkah yang tepat untuk menangani krisis Myanmar. “Dan kita harus melakukan hal yang tepat untuk rakyat Myanmar,” ujarnya.

Menlu mengatakan, implementasi Lima Poin Konsensus masih merupakan prioritas bagi ASEAN untuk membantu Myanmar. Dia menyebut keterlibatan Indonesia dengan berbagai pihak di Myanmar mendapat dukungan penuh. Seluruh negara anggota ASEAN juga sepakat mendorong dilakukannya dialog inklusif di Myanmar. “Negara anggota ASEAN mengecam masih terus berlangsungnya penggunaan kekerasan,” ucap Retno.

Krisis di Myanmar pecah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari 2021. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.

Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal.

Dalam laporannya yang diterbitkan pada Juni 2023 lalu, Peace Research Institute Oslo mengungkapkan, sejak kudeta pada Februari 2021, lebih dari 6.000 orang terbunuh di Myanmar. Sementara itu PBB menyebut, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler