ESDM Jamin Aturan Devisa Ekspor tak Ganggu Arus Kas Pengusaha Tambang
Banyak pengusaha yang justru menyimpan DHE di luar negeri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif memastikan, peraturan baru pemerintah yang mewajibkan eksportir menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam selama tiga bulan tak akan mengganggu arus kas pengusaha tambang seperti yang dikhawatirkan.
“Tidak akan (menganggu), kan ada mekanismenya. PP ini juga tidak akan memberikan dampak (negatif), kita juga minta pengusaha bisa bantu kita,” kata Arifin di Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Pemerintah pun mengatakan akan ada aturan turunan yang disiapkan untuk masing-masing sektor sehingga pengaturan kewajiban penyimpanan DHE dapat berjalan optimal. Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Beleid itu berlaku untuk sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Pada pasal 7 ayat 1 dan 2 beleid tersebut dijelaskan, DHE yang telah dimasukkan dan ditempatkan eksportir ke rekening khusus DHE wajib ditempatkan paling sedikit 30 persen dalam sistem keuangan Indonesia paling singkat tiga bulan sejak penempatan devisa ke rekening khusus.
Lebih lanjut, Arifin mengungkapkan, alasan pemerintah mewajibkan penyimpanan DHE berkaca dari booming harga komoditas ekspor di pasar internasional namun nyatanya cadangan devisa tak mengalami peningkatan signifikan.
Menurutnya, selama ini pun banyak pengusaha yang justru menyimpan DHE di luar negeri. “Jadi tidak nyangkut. Dengan adanya aturan ini akan memperkuat cadangan devisa kita. Kita juga lihat ini akan banyak memberikan dampak yang baik terhadap bisnis finansial,” kata Arifin.
Sebelumnya, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyatakan keberatannya atas kewajiban baru yang dibuat pemerintah. “Aturan tersebut tentu akan menyulitkan eksportir dalam mengelola cash flow, terlebih margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30 persen,” kata Ketua Umum APBI, Pandu Sjahrir dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Ia mengaku, dengan kondisi tersebut, modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir akan tertahan di tengah tren penurunan harga batu bara yang tajam sejak 2022 serta meningkatnya beban biaya operasional.
Pandu memaparkan, biaya operasional penambang batu bara pada 2023 diperkirakan meningkat dengan rata-rata 20-25 persen akibat kenaikan biaya bahan bakar hingga stripping ratio yang semakin besar. Hal itu lantas menyebabkan biaya penambangan semakin tinggi. Selain itu, kenaikan beban biaya penambang juga semakin berat dengan telah dinaikkannya tarif royalti.
Tercatat, tarif royalti pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik dari rentang tarif 3-7 persen menjadi 5-13 persen yang diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2022. Sementara bagi pemegang IUPK-Kelanjutan Operasi Produksi, tarif royalti tertinggi mencapai 28 persen seperti diatur dalam PP Nomor 15 Tahun 2022.
“Selain itu, perusahaan eksportir batu bara juga tidak dapat memaksimalkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas dalam dua tahun terakhir akibat masih lebarnya disparitas antara Harga Batu Bara Acuan (HBA) dengan harga jual aktual,” kata dia.