Kasus Kekerasan Pemukim Israel Terhadap Warga Palestina Meningkat Tajam

Dalam enam bulan terakhir, PBB mendokumentasikan 591 kasus.

EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Seorang warga Palestina melempar granat gas air mata saat bentrokan dengan pasukan Israel setelah protes terhadap pemukim Israel di dekat pos terdepan Avitar dekat desa Beita, selatan kota Nablus di Tepi Barat, Senin (10/4/2023). Pendukung sayap kanan Israel dan Menteri Israel dan Anggota Knesset menghadiri rapat umum di dekat pos terdepan Avitar. 25 warga Palestina terluka dalam bentrokan itu, kata kementerian kesehatan Palestina.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan, kasus yang melibatkan pemukim Israel di wilayah pendudukan Palestina tahun ini meningkat cukup tajam, yakni sebesar 39 persen. Dalam enam bulan terakhir, PBB mendokumentasikan 591 kasus.

Baca Juga


"Itu rata-rata 99 insiden setiap bulan dan meningkat 39 persen dibandingkan dengan rata-rata bulanan sepanjang tahun 2022, yaitu 71 (kasus)," kata Juru Bicara OCHA Jens Laerke dalam pengarahan di kantor PBB di Jenewa, Swiss, Jumat (4/8/2023), dikutip Anadolu Agency.

Dia mengungkapkan, jumlah kasus kekerasan yang dilakukan pemukim Israel pada 2022 sebenarnya menjadi paling tertinggi sejak OCHA mulai melakukan pencatatan pada 2006. Laerke mengatakan, dalam dua tahun terakhir, setidaknya 399 warga Palestina terpaksa mengungsi akibat kekerasan pemukim. 

Para pemukim menargetkan tujuh komunitas yang terlibat dalam penggembalaan melintasi wilayah Palestina yang diduduki.

Laerke menyebut, tiga dari tujuh komunitas tersebut, yakni Al Baqa’a, Khirbet Bir al’Idd, dan Wedadiye, telah benar-benar dikosongkan karena kekerasan. Sementara komunitas lainnya hanya memiliki beberapa keluarga tersisa.

Banyak komunitas di seluruh Tepi Barat berada di bawah ancaman pemindahan paksa sebagai akibat dari lingkungan pemaksaan yang diciptakan oleh penghancuran, aktivitas permukiman, dan praktik berbahaya lainnya. "Permukiman Israel ilegal menurut hukum internasional. Mereka memperdalam kebutuhan kemanusiaan karena dampaknya terhadap mata pencaharian, ketahanan pangan, dan akses ke layanan penting," kata Laerke. 

Baru-baru ini Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir mendorong percepatan aneksasi wilayah Tepi Barat secara keseluruhan. Dia mengklaim bahwa Tepi Barat merupakan bagian dari Israel.

“Kedaulatan harus diterapkan di wilayah Yudea dan Samaria (nama yang digunakan Israel untuk merujuk Tepi Barat). Ini adalah tanah kita,” kata Ben-Gvir saat berbicara dengan Israel Army Radio, dikutip laman Days of Palestine, Rabu (2/8/2023).

Pada kesempatan itu, dia pun menyerukan agar pergerakan warga Palestina di Tepi Barat dibatasi. “Hak pemukim Israel untuk hidup mendahului hak orang Palestina untuk bergerak,” ujarnya.

Pada 27 Juli 2023 lalu, Ben-Gvir memimpin ratusan pemukim Yahudi Israel menggeruduk kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur. Para pemukim masuk melalui Gerbang Maghrebi, kemudian melakukan doa atau ritual Talmud di bawah penjagaan pasukan keamanan Israel. 

“Tempat ini penting bagi kita dan kita harus kembali ke sana dan membuktikan kedaulatan kita. Persatuan bangsa Israel itu penting,” ujar Ben-Gvir dalam sebuah pesan video, dikutip Middle East Monitor

Aksi Ben-Gvir dan ratusan pemukim Yahudi Israel tersebut dikecam negara-negara Muslim, termasuk oleh Indonesia. Sejak pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilantik pada Desember 2022, Ben-Gvir, yang dikenal sebagai tokoh sayap kanan dan anti-Arab, telah tiga kali memasuki kompleks Al-Aqsa. 

Dua kunjungan sebelumnya terjadi pada Januari dan Mei lalu. Kedatangan Ben-Gvir ke kompleks Al-Aqsa selalu dikecam oleh negara-negara Arab dan Muslim karena dianggap provokatif serta mengabaikan kesucian situs Islam tersebut. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler