Membaca Koalisi Prabowo, Ganjar, dan Anies
Artikel komparasi mengenai tiga poros koalisi
Koalisi politik menurut Strom dan Nyblade (2023) adalah sebuah kelompok bersatu untuk mencapai tujuan yang sama, terutama dalam menjalankan roda pemerintahan, para anggota koalisi memahami dalam sistem demokrasi tidak ada satu orang atau satu kelompok dapat mengatur atau menjalankan kekuasaan tanpa melibatkan dukungan kekuatan politik lain.
Istilah koalisi politik sebenarnya lazim digunakan sistem pemerintahan parlementer dengan sistem multi partai, dalam sistem parlementer biasanya hasil perolehan suara partai politik di parlemen (legislatif) tidak ada yang mencapai suara mayoritas mutlak (50%+1), sehingga diperlukan adaya koalisi untuk memilih kepala pemerintahan (perdana mentri), koalisi juga berperan menjaga stabilitas politik mengamankan pemerintahan dari “mosi tidak percaya” kekuatan oposisi di dalam parlemen.
Menariknya di Indonesia diksi koalisi kerap menjejali ruang publik, khususnya menjelang pemilu tingkat nasional (capres-cawapres) atau tingkat lokal (pilkada), padahal desain sistem pemerintahan kita adalah presidensil bukan parlementer, tidak mengenal istilah koalisi. Kemunculan diksi koalisi beriringan dengan adanya syarat persentase perolehan suara partai politik di legislatif, sehingga berhak mengusung pasangan kandidatnya. Bagi partai politik yang tidak mencapai persentase suara, otomatis harus membangun koalisi bersama partai-partai lain, agar mencapai syarat persentase tersebut.
Pada Pemilu 2024 diperkiran terdapat tiga poros koalisi dalam mengusung capres, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) terdiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Nasional Demokrat (NASDEM) telah bersepakat mengusung sosok Anies Baswedan. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadikan Ganjar Pranowo sebagai capres. Terakhir Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) memilih Prabowo Subianto.
Ketiga poros koalisi menurut penulis memiliki persamaan. Pertama, ketiga bentuk koalisi masih sangat cair, karena belum terdapat kesepakatan mengenai figur cawapres akan diusung, mereka baru menemukan kesepahaman mengenai sosok capresnya. Jadi ketiga koalisi harus menjalin komunikasi lebih intens diantara mereka untuk mencapai titik temu, terlebih masing-masing anggota koalisi sepertinya memiliki agenda politik sendiri-sendiri untuk memasangkan elitnya menjadi cawapres mendampingi sang capres dalam Pemilu 2024.
Kedua, bentuk koalisi memiliki kesamaan merepresentasikan dua kekuatan politik besar di Indonesia, kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Koalisi mengusung Prabowo Subianto, merupakan format koalisi besar melibatkan empat partai politik, yaitu PAN, Golkar, PKB, dan Gerindra. Kebetulan keempatnya satu barisan dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo, serta perpaduan dari kelompok Islam dengan nasionalis. Meskipun PKB dan PAN bukan partai Islam, tidak mencantumkan Islam sebagai asas partai, tetapi sudah menjadi rahasia umum keduanya tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang konstituen kelompok Islam.
PKB merepresentasikan kelompok tradisionalis, PAN merupakan simbolisasi kelompok modernis, sedangkan Golkar dan Gerindra representasi kubu nasionalis. Pilihan PAN dan Partai Golkar merapat ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, sepertinya pilihan rasional, sebab secara elektabilitas sosok Prabowo senantiasa masuk ke dalam tiga besar kandidat potensial, dan koalisi sebelumnya pernah digagas PAN, Partai Golkar, dan PPP atau disebut Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) telah bubar, semenjak PPP merapat ke poros PDI Perjuangan yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres.
Sosok Prabowo sendiri meskipun berlatar belakang nasionalis, selama berkarir di dunia militer ia memiliki kedekatan dengan tokoh Islam dan pesantren, selain itu Prabowo merupakan putra dari begawan ekonomi Sumitro Joyohadikusumo, sosok kuat memiliki relasi dekat dengan kelompok Islam politik, karena Sumitro merupakan salah satu elit Partai Sosialis Indonesia (PSI) selama pemerintahan Orde Lama sering berkerjasama dengan Partai Islam Masyumi dalam membendung pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Begitu juga koalisi PDI-P dan PPP merupakan kombinasi antara kelompok nasionalis dan Islam, bahkan kedua partai memiliki kisah romantisme tidak dimiliki partai-partai saat ini, yaitu perjuangan bersama ketika melawan dominasi sistem kepartaian masa Orde Baru, keduanya mengalami pembatasan serta peminggiran dari negara. Bahkan ketika PDI Megawati tidak diakui pemerintah pasca peristiwa 27 Juli 1996, terbentuk aliansi politik antara pendukung Megawati dan massa PPP melalui aksi kampanye “Mega Bintang Rakyat” di Pemilu 1997 yang menyebabkan kenaikan fantastis suara PPP pada pemilu terakhir Orde Baru itu, lantaran banyak pendukung Megawati memberikan suara mereka ke PPP, disaat PDI Megawati tidak bisa menjadi peserta Pemilu 1997.
Sosok Ganjar Pranowo diusung PDI-P dan PPP, juga diterima kalangan kelompok Islam, disebabkan Ganjar memiliki hubungan dekat dengan kelompok santri karena istrinya merupakan cucu dari K.H. Hisyam A Karim yang merupakan seorang ulama dan pendiri Pondok Pesantren PP Riyadus Sholikhin, Karanganyar, Purbalingga.
Sedangkan pada koalisi Anies Baswedan terdapat PKS, salah satu partai Islam modernis memiliki sistem kaderisasi rapih dan solid, basis pendukungnya dari kalangan Islam perkotaan, koalisi juga melibatkan kekuatan nasionalis Partai Demokrat dan Partai Nasdem, keunikan dari koalisi ini perpaduan antara partai pemerintah dengan partai diluar pemerintah, sehingga kesan sebagai “koalisi rekonsiliasi” menjadi salah satu kelebihan dari kekuatan politiknya. Rekonsiliasi politik tentu membawa dampak positif bagi perjalanan politik bangsa Indonesia, polarisasi tajam akibat dari residu dua kali pemilu (2014 dan 2019) sudah saatnya di akhiri di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu sosok Anies Baswedan merupakan representasi dari kelompok Islam politik, selain memiliki latar belakang organisasi kemahasiswaan Islam (HMI-MPO), Anies merupakan keturunan darah biru dalam pentas politik nasional, kakeknya dikenal sebagai salah satu politisi Islam dari Partai Islam Masyumi, serta pendiri dari Partai Arab Indonesia (PAI) sebelum kemerdekaan, yaitu Abdul Rahman (AR) Baswedan.
Bila dilihat adanya kesamaan ketiga koalisi itu khususunya hadirnya kombinasi antara Islam dengan nasionalis, kontestasi politik 2024 diharapkan polarisasi tajam dapat diminimalisir atau tidak terjadi, sehingga masyarakat Indonesia bisa lebih tenang dan rasional dalam menghadapi pesta demokrasi rekyat tersebut. Semoga
Gili Argenti, Dosen FISIP Univesitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).