Malas Berpikir, Ancaman Laten dari Kecerdasan Buatan (AI)
Ketika otak sebagai suatu big system tercanggih di dunia tak lagi berfungsi, maka bisa saya katakan bahwa kecerdasan buatan merupakan sebuah ANCAMAN bagi eksistensi manusia itu sendiri.
MALAS BERPIKIR, ANCAMAN LATEN DARI KECERDASAN BUATAN (AI)
Salah satu ciri utama era digital adalah adanya kecerdasan buatan (artificial intelligence=AI). AI merupakan program komputer yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia, termasuk di dalamnya kemampuan dalam mengambil keputusan, logika, dan karakteristik kecerdasan lainnya. AI dikenal sebagai teknologi yang memiliki potensi besar untuk mengubah kehidupan manusia di masa depan.
Saat ini, AI telah digunakan dalam situs mesin pencari (search engine), asisten virtual, kendaraan otonom (self-drive), marketplace, mobile banking, transportasi online, streaming musik dan film, termasuk memberi kemajuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, reformasi birokrasi, militer, ketahanan pangan, dan lain-lain. AI telah menyertai kehidupan kita kapan pun dan di mana pun, 24 jam 7 hari. Tiada sedetik saja tanpamu, maksudnya tanpa AI.
Sebagaimana teknologi perangkat lunak lainnya, AI menawarkan berbagai kemudahan kepada manusia. Ini akan bermakna positif jika manusia dapat memanfaatkan teknologi secara bijak. Dalam arti, tetap dalam koridor sebagai alat bantu (sarana) dalam memudahkan pekerjaan manusia. Bukan malah sebaliknya, kita “memandulkan” potensi yang ada pada diri kita, atau bahkan lebih parah lagi kita diperbudak oleh teknologi.
Menjadi Malas Berpikir
Potensi terbesar yang ada pada manusia adalah anugerah berupa otak. Ini yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Otak merupakan sistem tercanggih buatan Tuhan yang tiada tandingannya di dunia, dan memang tidak akan tertandingi oleh teknologi manapun. Dengan otak pula, manusia melakukan kegiatan berpikir.
Dengan kemudahan dari kecerdasan buatan, membuat manusia menjadi terlena, dininabobokan, dan pasif. Ia enggan menggunakan otaknya untuk berpikir, bahkan untuk hal-hal yang kecil dan remeh sekalipun. Semakin hari, ia semakin tergantung dengan teknologi. Seakan-akan ia tak bisa apa-apa tanpa bantuan teknologi. Daya pikir dan daya cipta kian sirna.
Contoh sederhana, kita membiasakan diri sedikit-sedikit Googling, cari di mbah Google, sekalipun kita tahu bahwa tidak semua yang muncul atau direkomendasikan oleh mesin pencari ternama itu merupakan data valid. Kenapa kita tidak mencoba untuk membaca buku, bertanya kepada seseorang (ahli), atau mengasah otak kita sendiri dengan berpikir.
Untuk membuat tugas-tugas ringan, kita pun terbiasa mencari contoh yang ada di dunia maya. Membuat surat undangan, surat lamaran kerja, laporan keuangan, PR anak, dll. Termasuk ketika kita ingin membuat desain undangan pernikahan, pamflet Agustusan, promosi usaha, sampul proposal, dan sebagainya, kita sudah tergantung kepada template atau aplikasi tertentu. Mengapa kita tidak menggunakan Microsoft Publisher atau belajar Coreldraw.
Mencari suatu lokasi tertentu misalnya, kita juga lebih mengandalkan aplikasi map. Padahal lokasi itu berada tak jauh dari tempat tinggal kita. Atau lokasi itu berada di kota yang sudah sering kita kunjungi. Kita tak lagi melatih kecerdasan spasial yang ada pada diri kita. Ketika sedang berada di jalan, otak dan feeling kita nyaris tak berfungsi. Dan ketika map kebetulan menunjukkan jalan yang salah atau tidak sesuai dengan yang kita harapkan, kita pun marah-marah.
Kita pun terbiasa dengan konten-konten singkat terutama dalam bentuk short video. Kita malas untuk membaca opini atau esai. Alasannya tulisannya panjang dan harus pakai mikir. Hal ini terbukti pula di chat WhatsApp jika ada yang posting tulisan yang panjang, banyak yang mengeluh, “Panjang banget, intinya saja apa?”
Suka dengan konten-konten pendek bisa jadi membuat kita menjadi manusia “bersumbu pendek”, tidak mau berpikir panjang atau jauh ke depan. Belum melihat konten secara lengkap, sudah melakukan justifikasi. Belum memahami teks secara utuh, sudah buru-buru mengambil kesimpulan. Belum memandang suatu postingan di media sosial secara kontekstual, sudah berani melakukan provokasi. Belum melakukan cek dan ricek atas kebenaran suatu informasi, kita bersegera untuk menyebarluaskannya.
Tuhan menganugerahi manusia dengan otak adalah untuk berpikir dan merenung. Di sisi lain, setiap detik otak kita dibanjiri oleh segudang informasi, entah itu berupa pesan singkat, postingan di media sosial, berita, video, dan berbagai konten lainnya. Saking banyaknya, otak tak lagi sempat untuk mencerna. Semua seperti angin di padang stepa, datang dan pergi, sebegitu cepatnya.
Ketika otak sebagai suatu big system tercanggih di dunia tak lagi berfungsi, maka bisa saya katakan bahwa kecerdasan buatan merupakan sebuah ANCAMAN bagi eksistensi manusia itu sendiri.
Bijak Dalam Menggunakan AI
Sebagaimana konsep dasar sebuah teknologi, bahwa ia tak lebih sebagai alat atau sarana dalam menunjang pekerjaan manusia. Ia berfungsi memberikan kemudahan kepada manusia agar dapat menjalankan semua aktivitasnya dengan lebih mudah, cepat, dan efektif-efisien. Sekalipun sudah banyak tugas dan pekerjaan manusia yang telah digantikan oleh AI, ia tetap sebagai pemegang kendali atas teknologi yang telah diciptakannya, bukan malah sebaliknya ia dikendalikan oleh teknologi.
Kecerdasan buatan hanya akan bekerja berdasarkan perintah (input). Ia tidak akan melakukan selain yang diperintahkan. Ia tidak memiliki kehendak sendiri. Ia tidak bisa membedakan mana konten yang positif dan mana konten yang negatif. Ia pun tidak bisa merasakan, apakah data yang disajikannya kepada pengguna akan membawa manfaat atau malah madlarat. Oleh karena itu, bolehlah jika ia disebut sebagai makhluk TAK BERKESADARAN.
Berbeda dengan manusia, sistem kerja otaknya akan terkoneksi dengan hati dan jiwanya, terintegrasi dengan pikiran dan perasaannya. Menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya. Maka, ketika ia menggunakan teknologi, ia akan mempertimbangkan banyak aspek. Di antaranya, baik atau buruk, positif atau negatif, konstruktif atau destruktif, manfaat atau mudlarat, dan lain-lain. Bahkan, lebih jauh dari itu, kesadaran spiritualnya akan mengingatkan soal pertanggungjawaban kelak di hari kiamat.
Di masa depan, kecerdasan buatan barangkali akan memiliki teknologi yang fantastis, yang bahkan belum pernah terbayangkan oleh jangkauan pikiran manusia saat ini. Mari kita pergunakan AI dengan sebaik-baiknya untuk menunjang kebutuhan dan pekerjaan kita. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah mari kita pergunakan potensi yang ada pada diri kita secara optimal dan maksimal. Bagaimana pun juga, kecerdasan manusia tetap berada di atas segalanya.
Kecerdasan manusia adalah kecerdasan semesta.
Boyolali, 20 Agustus 2023