BSSN Minta Kewenangan Penindakan dalam Revisi UU ITE

BSSN saat ini tidak memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Antara/Aditya Pradana Putra
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian (kedua kiri) didampingi Wakil Kepala BSSN Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra (kiri) menjabat tangan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid (kanan) sebelum rapat kerja bersama di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/8/2023). Rapat tersebut membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian mengusulkan sejumlah hal dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Salah satunya adalah penguatan kewenangan lembaganya untuk penyidikan dan penindakan tindak pidana di sektor informasi dan transaksi elektronik.

"Penguatan peran BSSN dalam proses penindakan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik. Satu, penguatan regulasi dalam revisi UU ITE," ujar Hinsa dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Selasa (22/8/2023).

BSSN saat ini tidak memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal tersebut membuat lembaganya tidak dapat langsung melakukan penanganan insiden siber dan pemeriksaan digital forensik digital pada suatu sistem elektronik.

Butuh waktu untuk koordinasi setidaknya lebih dari 1 x 24 jam. Padahal, kecepatan dan ketepatan adalah kunci dalam melakukan preservasi bukti digital.

Ia mengeklaim, Jika BSSN memiliki PPNS, lembaganya dapat melakukan preservasi bukti digital pada suatu sistem elektronik yang terdampak serangan siber. Khususnya dalam melakukan preservasi terhadap serangan siber yang bersifat teknis.

"Pembentukan PPNS di BSSN sebagai optimalisasi peran negara dalam penindakan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik. Penindakan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik yang cepat, akurat, dan tuntas demi melindungi kepentingan nasional," ujar Hinsa.

Dia melanjutkan, saat ini proses penindakan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik dapat dikategorikan belum optimal. Ada empat kategori yang menunjukkan hal tersebut belum maksimal.

Pertama adalah serangan siber terhadap sektor vital masih menjadi ancaman faktual dan berbahaya. Kedua, tingkat respon notifikasi insiden sektor vital belum optimal. Ketiga, proses penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik belum secara optimal memberdayakan seluruh sumber daya siber nasional.

"Empat, regulasi saat ini masih menjadi kendala terwujudnya penanganan insiden siber yang cepat, akurat, dan tuntas," ujar Hinsa.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler