Menjaga Perjalanan Air Sepanjang 36,8 Km, dari Mriyan ke Juwiring
Ada 49 desa di Klaten yang berbatasan langsung dengan DAS Pusur.
REPUBLIKA.CO.ID, Perjalanan air Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur dimulai dari lereng Merapi. Tepatnya di Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Wilayah ini berada di ketinggian 1.000 di atas permukaan air laut (mdpl). Cara masyarakat Mriyan memerlakukan air, sangat berpengaruh pada kondisi di hilir yang menuju Sungai Bengawan Solo.
Hal ini terlihat dari bentuk bedengan pada sistem pertanian terasiring di Dukuh Gumuk. Bedengan dibuat melintang dari arah jalur air dari gunung. Republika menjejakkan kaki pertama kali di wilayah ini beberapa waktu lalu. Ketika pertama kali datang, hawa dingin langsung menusuk kulit dibawa angin yang berembus pelan. Pemandangan menakjubkan.
Di Dukuh Gumuk, seperti ada di negeri di atas awan. Dari wilayah konservasi anggrek di Desa Mriyan, terlihat di sebelah selatan gerbang masuk Dukuh Gumuk lebih tinggi dari putihnya awan. Rumah di sepanjang jalan masuk Dukuh Gumuk, terlihat sebagian besar membudidaya tanaman anggrek dan mawar.
Wilayah ini memang menjadi pemasok bunga mawar yang bisa ditemui di wilayah Boyolali atau Klaten. Pada bagian belakang rumah, sebagian warga memanfaatkan lahan yang berkontur perbukitan dengan menanam sejumlah komoditas.
Di wilayah Kecamatan Musuk ini, berdiri Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) yang menjadi bagian dari Pusur Institute. Hingga Rabu (12/7/2023), tercatat LPTP sudah menanam 141.041 pohon jenis mahoni, suren, sengon, cengkih, durian, kakao, teh, jahe merah, anggrek. Selain itu, LPTP bersama Danone-Aqua juga membudidayakan 1.500 bibit kopi di Desa Sangup dan 2.000 bibit di Desa Mriyan.
Khusus untuk kopi yang ditanam di lereng perbukitan, memang belum terlihat sebagai sebuah perkebunan. Desa Mriyan, khususnya di Dukuh Gumuk, lebih menerapkan sistem pertanian agroforesti atau wanatani. Dengan sistem ini, warga tidak hanya melestarikan pepohonan atau tanaman kayu, tetapi juga komoditas yang siap panen untuk jangka pendek sekaligus.
Ketua Kelompok Karya Muda Komunitas Petani Konservasi Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Boyolali, Joko Susanto mengaku, tanaman seperti kopi, cengkih, teh, atau alpukat merupakan komoditas yang bisa panen dalam jangka waktu pendek. Namun, tanaman kopi ini selalu berada di sekitar kawasan pohon kayu-kayuan. Kedua tanaman ini terlihat rapi di tanah perbukitan di Dukuh Gumuk. Tanaman kopi terlihat hijau meskipun jarak antartanaman masih jarang.
Menurut Joko, sistem agroforestri memungkinan masyarakat tetap bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari komoditas yang bisa panen dalam waktu singkat sekaligus memanen air hujan untuk disimpan di dalam tanah. “Bedengan sengaja dibuat melintang dari arah jalur air, sehingga air lebih banyak meresap ke dalam tanah, bukan langsung turun ke sungai menuju hilir,” tutur Joko ditemui di Dukuh Gumuk, Mriyan, Boyolali, beberapa waktu lalu.
Apakah masyarakat Desa Mriyan bisa memanfaatkan air tanah yang meresap dari bentuk bedengan lahan agroforestri mereka? Tidak. Kepala Desa Mriyan Suwandi mengaku, warganya memanfaatkan penampungan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air setiap harinya. Mereka tidak bisa membuat sumur karena bakal terlalu dalam mengebor tanah yang berada di ketinggian 1.000 mdpl.
“Kalau sekarang, kita bisa dapat air dari wilayah Cepogo, dari sana, kita pakai pipa untuk disalurkan kesini. Jadi bak penampungan bisa diisi jika lagi susah hujan,” tutur Suwandi. Kades Suwandi mengaku, warga desanya mulai menanam kopi sejak 2017. Sejak saat itu, sekitar 3.500 tanaman kopi sudah berhasil ditanam di Desa Mriyan dengan sistem agroforestri.
Budidaya anggrek
Mriyan memang menjadi hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur. Air sungai ini bakal menyatu ke Bengawan Solo jika terus mengalir di wilayah Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Jika dihitung dengan jarak, dari hulu sungai yang berada di Desa Mriyan, Boyolali, menuju Sungai Bengawan Solo yang ada di Juwiring, Klaten, sepanjang 36,8 kilometer.
Berdasarkan data Danone-Aqua, ada 49 desa yang berbatasan langsung dengan DAS Pusur. Artinya, wilayah ini menjadi daerah yang paling berpengaruh atau terpengaruh dengan kondisi air dari DAS Pusur.
Di wilayah hulu, seperti Mriyan, merupakan daerah yang harus bisa memanen air hujan. Bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan juga kebutuhan masyarakat di 49 desa yang dilalui DAS Pusur. Sebab, daerah ini menjadi penyangga kebutuhan air bagi wilayah tengah maupun hilir di sekitar DAS Pusur.
Selain agroforestri, Dukuh Gumuk juga berhasil mengembangkan salah satu anggrek spesies Merapi, Vanda Tricolor. Kini, bunga ini menjadi sangat dilindungi karena hampir mengalami kepunahan. Bahkan, budidaya anggrek di Dukuh Gumuk tidak diizinkan keluar dari lereng Bukit Bibi. “Ada yang mengadopsi, tapi tetap disini, kami hanya terus melaporkan perkembangan melalui foto anggrek yang diadopsi masyarakat dari luar Mriyan,” tutur Joko. Biaya adopsi sendiri sekira Rp 500 hingga Rp 750 ribu.
Sebab, setelah berhasil dibudidaya, anggrek-anggrek ini dititipkan di rumah warga atau dikembalikan ke hutan di Perbukitan Bibi, di lereng Merapi. Diketahui, Desa Mriyan menjadi daerah yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merapi. Anggrek Vanda Tricolor memiliki keunikan dibandingkan spesies anggrek lainnya. Antara lain, corak warna yang berbintik serta lebih dari dua warna dalam satu bunga.
Produksi biogas.... (halaman selanjutnya)
Produksi biogas
Jika wilayah Mriyan merupakan daerah hulu penjaga pasokan air tanah, wilayah Mundu, Kabupaten Klaten, menjadi daerah penjaga kondisi air tanah. Maklum, perjalanan air dari hujan menuju Bengawan Solo masih panjang. Di wilayah tengah DAS Pusur, masyarakat berkolaborasi memanfaatkan kotoran ternak mereka untuk menghasilkan biogas rumah tangga.
Awalnya, biogas ini digagas Danone-Aqua agar masyarakat dari hulu ke hilir bisa berkolaborasi menjaga kelestarian air. Melihat karakteristik dan mayoritas masyarakat Mundu, pengolahan limbah kotoran sapi menjadi prioritas pertama. Sebab, sebelum digalakkan Arisan Biogas, sebagian besar masyarakat Mundu membuang kotoran sapi mereka di sungai. Tercatat ada 250 perternak sapi perah di Desa Mundu.
Perilaku ini bisa berdampak pada kondisi air tanah yang datang dari hulu ke hilir. Ketua Kelompok Tani Ternak Margomulyo, Teguh Sutikno mengakui, inisiasi biogas diawali dari bantuan dari Danone-Aqua Klaten. Dari Arisan Biogas ini, sudah berhasil dibangun 40 unit biogas di Dukuh Mundu, Klaten. “Total biogas di Mundu saat ini sudah ada 56 unit. Sebagian ada yang pembangunan mandiri,” tutur Teguh.
Teguh mengaku sistem arisan digunakan untuk pembangunan pengelolaan limbah kotoran sapi karena masih mahal. Arisan ini dimulai dari pembentukan kelompok kecil, yang berisi lima sampai 10 orang. Tiap anggota iuran Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta untuk membangun sistem biogas secara gotong royong.
“Dari pengelolaan kotoran sapi menjadi biogas ini, tiap rumah bisa menghemat sekitar 2 tabung gas LPG ukuran 3 kilogram setiap bulan,” ujar Teguh. “Bahkan, limbah sapi yang sudah difermentasi bisa dijual sebagai pupuk organik untuk pertanian warga,” kata Teguh menambahkan.
Jika sudah membuat instalasi pengelolaan, tiap peternak hanya butuh meluangkan waktu untuk membersihkan kotoran sapi dimasukkan dalam glister (penampungan) untuk diproses fermentasi sekitar 2 hari. Dari tempat penampungan ini langsung dibuat pipa di bagian atas yang bisa disalurkan ke kompor rumah tangga. Hasilnya, selain masyarakat bisa mengakses biogas, kini warga tak lagi membuang kotoran di sungai yang membuat air tercemar.
Direktur Sustainable Development Danone Indonesia Karyanto Wibowo menuturkan, wilayah Mundu menjadi perhatian pihaknya karena daerah ini menjadi salah satu wilayah recharge paling rendah terhadap kondisi air DAS Pusur. Dengan demografi mayoritas warganya peternak sapi, risiko paling berpengaruh terhadap kualitas air adalah pencemaran dari kotoran ternak.
“Mitigasinya apa, pembangunan biogas. Kotoran tidak lagi mencemari badan air, tapi digunakan untuk kebutuhan rumah tangga,” tutur Karyanto.