Saatnya Indonesia Menyediakan Pesawat Khusus untuk Menlu
Pesawat angkut VIP-VVIP TNI bisa digunakan menteri luar negeri.
Oleh : Erik Purnama Putra, wartawan Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa kali, penulis tidak sengaja melihat unggahan video perjalanan dinas keluar negeri yang dilakukan Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi. Dari situ, penulis bisa mengambil kesimpulan jika lawatan Retno keluar negeri selalu menggunakan pesawat domestik. Maksudnya, Retno ketika mengunjungi sebuah negara harus menggunakan penerbangan maskapai sipil.
Hal itu ditandai dengan kedatangan Retno keluar dari pesawat dan dijemput protokoler di bandara. Kemudian, ia melewati jalur diplomatik atau VIP menuju mobil jemputan. Setelah itu, ia melaju ke pusat kota untuk menghadiri sebuah agenda atau pertemuan terkait diplomatik yang melibatkan Republik Indonesia (RI).
Kondisi itu bisa dipastikan jika Retno menjalankan tugas keluar negeri, pasti naik harus dengan memesan tiket terlebih dulu, meski semuanya sudah diurus dengan baik oleh staf. Namun, hal ini patut disayangkan. Apa pasal? Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang termasuk bagian triumvirat dalam pemerintahan RI, seharusnya mendapatkan fasilitas yang lebih layak daripada sekarang.
Bagaimana bisa, Menlu sebuah negara dengan populasi nomor empat di dunia berpenduduk 270 juta jiwa, anggota G20, dan menjadi pusat organisasi ASEAN, ketika melakukan kunjungan kerja ke berbagai negara harus selalu menggunakan pesawat umum. Idealnya, pemerintah memiliki pesawat khusus yang difungsikan untuk perjalanan diplomatik guna mendukung kinerja Menlu.
Padahal, penulis menyaksikan sendiri, biasanya Menlu Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, dan Turki, serta Jerman (nama yang terakhir pesawatnya bermasalah kala melawat ke Australia) ketika keluar negeri, pasti menggunakan pesawat khusus. Dengan begitu, waktu keberangkatan dan kepulangan bisa diatur sedemikian rupa agar tugas negara yang dijalankan bisa lebih efektif dan efisien.
Sehingga, protokoler tidak disibukkan lagi dengan pesan tiket maupun waktu transit di bandara, ketika harus melakukan perjalanan panjang, lintas benua, misalnya. Dengan adanya pesawat khusus maka perjalan Menlu bisa lebih ringkas dan waktu yang ada bisa digunakan untuk menyelesaikan tugas di kantor.
Mengapa hal itu menjadi penting untuk dibicarakan? Penulis sebenarnya tidak kenal dengan Retno. Hanya sekali bertemu muka ketika eks Dubes RI untuk Kerajaan Belanda tersebut kunjungan ke Republika di Jalan Warung Buncit Raya Nomor 37, Jakarta Selatan, beberapa tahun silam. Pun penulis tidak pernah mendapatkan penugasan meliput di Kemenlu.
Penulis hanya mempertanyakan, mengapa negara sebesar ini kurang peduli untuk mendukung kinerja Menlu? Padahal, dengan adanya pesawat maka menlu dalam menunaikan tugas negara ketika harus bertemu kolega di acara tertentu maupun lawatan diplomatik demi memperjuangkan kepentingan RI bisa lebih maksimal.
Ketiadaan pesawat khusus membuat Menlu harus menyediakan waktu lebih lama untuk berangkat dan kepulangan seusai menghadiri sebuah pertemuan di luar negeri. Memang untuk Menlu tidak perlu pesawat berbadan besar.
Cukup pesawat yang memuat belasan kursi, hingga membuat Menlu, staf, ajudan, dan protokoler bisa melakukan perjalanan udara dalam satu rangkaian agar lebih cepat sampai di tujuan. Jika pemerintah bisa menyediakan fasilitas itu maka sebuah terobosan bagus tentunya, dalam mendukung kerja-kerja diplomatik.
Penulis merasa punya solusi untuk mengatasi hal itu. Apalagi, baru-baru ini, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) diperkuat dua jet tipe Dassault Falcon 7X dan 8X. Pesawat angkut VIP-VVIP tersebut sanggup terbang 10,5 jam dan 12 jam. Penulis mengetahui, pesawat tersebut faktanya tidak hanya digunakan untuk perwira tinggi (pati) militer.
Ada menteri senior yang menggunakannya untuk perjalanan dinas di dalam negeri. Hal itu dapat diketahui dari unggahan foto salah seorang stafnya di Instagram. Sehingga sebenarnya pesawat khusus tersebut jika sedang tidak digunakan untuk mendukung operasi militer, bisa dimanfaatkan untuk menunjang kinerja Menlu.
Kalau melakukan lawatan di Asia maka pesawat bisa langsung terbang dari Lanud Halim Perdanakusuma menuju bandara tujuan. Apabila negara tujuan berada di Benua Eropa atau Amerika maka pesawat cukup sekali transit untuk mengisi bahan bakar, dan langsung lanjut terbang ke tujuan akhir.
Dari sini, jelas sekali jika memang ada fasilitas yang bisa digunakan Menlu untuk mendukung kinerjanya dalam membangun dan memperkuat hububgan diplomatik dengan berbagai negara. Karena bagaimana pun dan siapa pun Menlu yang menjabat, intensitas perjalanan keluar negeri pasti lebih tinggi daripada presiden sekali pun.
Oleh karena itu, hendaknya Menlu bisa bergerak lebih leluasa dari satu negara ke negera lain jika didukung fasilitas penerbangan mumpuni. Indonesia sebagai negara besar sudah seharusnya dan memantaskan diri dengan menyediakan pesawat khusus untuk misi diplomatik agar bisa lebih baik lagi dalam bertugas ke depannya, siapa pun figur yang menjabat Menlu.