Junta Niger Usir Dubes Prancis
Junta Niger juga mengundang Mali dan Burkina Faso bantu pertahanannya.
REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Junta militer Niger mengizinkan pasukan dari negara tetangganya, Mali dan Burkina Faso, untuk datang membantu pertahanan negaranya dari campur tangan negara Afrika Barat (ECOWAS) dan meminta duta besar Prancis untuk meninggalkan negara itu pada hari Jumat (25/8/2023).
Langkah pemerintah Junta Nigeria hasil kudeta militer ini, semakin meningkatkan pertaruhan dalam kebuntuan dengan negara-negara Afrika Barat lainnya, yang mereka mengancam akan mengembalikan presiden Niger yang terpilih secara demokratis.
Pemimpin junta, Brigjen Abdrahmane Tchiani, menandatangani dua perintah eksekutif yang memberi wewenang kepada "pasukan keamanan Burkina Faso dan Mali untuk melakukan intervensi di wilayah Niger jika terjadi agresi," ujar pejabat senior junta, Oumarou Ibrahim Sidi, Kamis (24/8/2023) malam. Perintah tersebut disampaikan setelah pemimpin junta Niger menjamu delegasi dari kedua negara tersebut di ibukota, Niamey.
Sidi tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai dukungan militer dari kedua negara. Rezim militer junta Niger telah mengatakan bahwa setiap penggunaan kekuatan oleh blok Afrika Barat ECOWAS terhadap negaranya, akan dianggap sebagai tindakan perang terhadap negara mereka sendiri.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Niger mengatakan bahwa Duta Besar Prancis Sylvain Itte diminta untuk meninggalkan Niger dalam waktu 48 jam dalam sebuah surat yang menuduhnya mengabaikan undangan pertemuan dengan kementerian tersebut.
Surat tertanggal Jumat, yang salinannya dilihat oleh The Associated Press, juga mengutip "tindakan pemerintah Prancis yang bertentangan dengan kepentingan Niger."
Prancis secara konsisten hanya mengakui otoritas Presiden terpilih Niger Mohamed Bazoum, yang masih ditahan oleh junta. Paris menegaskan kembali pada Jumat malam bahwa "hanya otoritas Niger yang sah yang terpilih" yang memiliki hak untuk menentukan nasib duta besarnya.
Undangan pasukan dari Mali dan Burkina Faso serta pengusiran duta besar Prancis menunjukkan "keselarasan yang sangat kuat" antara rezim kedua negara tersebut dan rezim Niger." Dalam hal ini kedua negara dengan Niger memiliki orientasi anti-Barat yang sangat kuat dan pro-otoriter," kata Nate Allen, seorang profesor di Pusat Studi Strategis Afrika.
Sebelum penggulingan Bazoum bulan lalu, Niger, bekas jajahan Prancis, dipandang sebagai mitra utama terakhir Barat dalam melawan kekerasan jihad di wilayah Sahel di bawah Gurun Sahara, yang penuh dengan sentimen anti-Prancis.
Kedutaan Besar Prancis di ibukota Niger, Niamey, diserang pada hari-hari awal kudeta 26 Juli. Para pemimpin militer kudeta telah meminta bantuan dari perusahaan militer swasta Rusia, Wagner, untuk membendung serangan ekstremis.
Status permintaan tersebut setelah kematian pendiri Wagner, Yevgeny Prigozhin, dalam sebuah kecelakaan pesawat minggu ini belum diketahui. ECOWAS mengatakan pada hari Jumat bahwa bersama dengan Uni Afrika, mereka "menentang penggunaan Tentara bayaran, militer swasta."
Kesepakatan junta dengan Mali dan Burkina Faso adalah yang terbaru dari beberapa tindakan yang diambil oleh tentara pemberontak Niger. Langkah ini untuk menentang sanksi dan mengkonsolidasikan junta yang mereka katakan akan berkuasa hingga tiga tahun mendatang.
Hal ini semakin meningkatkan krisis setelah kudeta bulan lalu di negara berpenduduk lebih dari 25 juta jiwa itu.
Presiden Komisi ECOWAS, Omar Alieu Touray, mengatakan pada hari Jumat bahwa ancaman blok tersebut menggunakan kekuatan untuk mengembalikan Bazoum masih dalam pertimbangan atau "masih di atas meja." Namun ECOWAS menolak rencana transisi tiga tahun dari junta.
Sebelas dari 15 negara anggota blok tersebut, tidak termasuk negara-negara yang diperintah oleh militer seperti Mali, Burkina Faso, Guinea, dan Niger, akan mengembalikan pemerintahan Niger. Negara ECOWAS ini telah menyatakan komitmennya untuk mengerahkan pasukan guna memulihkan demokrasi di Niger begitu keputusan untuk melakukan intervensi diambil.
Sementara itu, blok tersebut akan terus mengeksplorasi opsi-opsi diplomatik untuk membalikkan kudeta tersebut, kata Touray kepada para wartawan di ibukota Nigeria, Abuja.
Upaya diplomatik terbaru datang pada hari Kamis ketika Presiden Nigeria Bola Tinubu, yang merupakan ketua blok regional ECOWAS, mengirim delegasi pemimpin Islam untuk berbicara dengan junta.
Touray mengatakan bahwa para kepala negara Afrika Barat akan memutuskan kapan akan menggunakan kekuatan senjata, jika dirasa semua cara diplomatik telah gagal. "ECOWAS tidak bisa hanya berpangku tangan," tegasnya.
Rincian dari apa yang disebut sebagai pasukan "siaga" ECOWAS belum dirilis. Para pejabat regional telah menyarankan bahwa intervensi militer apa pun akan seperti pasukan yang dikerahkan di Gambia pada tahun 2017. Saat itu pasukan blok ini dikerahkan untuk memaksa Yahya Jammeh turun dari kekuasaan sebagai Presiden Gambia setelah ia menolak untuk mengakui kekalahan dalam pemilu.
Junta militer Niger telah mengeksploitasi keluhan di antara penduduk terhadap mantan penguasa kolonial Niger, Prancis. Junta ini juga menuduh pemerintah Bazoum gagal melakukan cukup banyak hal untuk melindungi negara dari ekstremis Islam, dan telah meminta bantuan dari kelompok tentara bayaran Rusia, Wagner untuk mencegah ekstrimis itu.
Pada hari Jumat, Niger juga menghadapi sanksi baru ketika Millennium Challenge Corporation AS - yang telah menandatangani program hibah senilai 750 juta dolar AS dengan negara itu sejak 2008. Di mana lembaga itu menangguhkan operasi di Niger, yang berfokus pada peningkatan pertanian, melek huruf perempuan dan infrastruktur jalan di Niger.
Alasan penghentian bantuan, "karena kudeta tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan demokratis," kata lembaga AS tersebut.
ECOWAS telah bergabung dengan negara-negara Barat dan Eropa dalam menjatuhkan sanksi terhadap Niger, termasuk memotong pasokan listrik dari Nigeria dan penutupan perbatasan dengan negara-negara tetangga.
Touray mengakui pada hari Jumat bahwa sanksi-sanksi tersebut telah mengakibatkan "krisis sosial-ekonomi yang serius" di Niger, tetapi mengatakan bahwa sanksi-sanksi itu "untuk kepentingan rakyat Niger."