WFH Dinilai tak Efektif Atasi Polusi, Ombudsman Minta Siapkan Solusi Jangka Panjang

Ombudsman mendorong solusi polusi DKI Jakarta dari akarnya

Antara/Yulius Satria Wijaya
Foto udara kawasan Margonda depok yang tertutup kabut polusi udara di Depok, Jawa Barat, Jumat (25/8/2023). Kota Depok menjadi kota paling berpolusi di Indonesia pada Jumat (24/8) dimana indeks kualitas udara (AQI) di Kota Depok menyentuh 218 AQI US, yang menunjukkan tingkat polusi udara Depok masuk kategori sangat tidak sehat, diikuti Tangerang Selatan (187) dan Jakarta (169).
Rep: Rizky Suryarandika Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto mengkritisi penerapan sistem work from home (WFH) oleh pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta. Menurutnya, WFH  bukan solusi jangka panjang untuk mengatasi polusi ibu kota.  

Baca Juga


Hery meyakini WFH tidak efektif untuk menanggulangi polusi udara di wilayah Jakarta. Menurutnya, jika tidak dibarengi langkah penanganan secara sistemik maka tidak akan memberikan dampak yang signifikan dalam penanganan masalah polusi udara di Jabodetabek 

"WFH ini kan satu solusi singkat terhadap polusi udara di DKI Jakarta, tapi dinilai tidak efektif," kata Hery dalam keterangannya yang dikutip pada Ahad (27/8/2023). 

Hery mendorong pemerintah menuntaskan masalah polusi udara dari akarnya. Ombudsman berencana melakukan tinjauan lapangan di sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di sekitar Jabodetabek untuk memastikan apakah sudah sesuai dengan AMDAL.

Selanjutnya, Ombudsman akan memberikan tindakan korektif kepada Pemerintah terkait penanganan polusi udara khususnya di wilayah Jabodetabek. "Perlu dilakukan juga penanganan di sektor hulu dan hilir yang memberikan efek dampak panjang terhadap penanganan polusi," ujar Hery. 

Terkait PLTU berbasis batu bara, Hery mengatakan pemerintah harus menguatkan pengawasan di lapangan. Misalnya dengan mengawasi pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penerapan teknologi ramah lingkungan. 

"Pengawasan AMDAL dan penerapan teknologi ramah lingkungan harus dilakukan secara holistik dan berkelanjutan, jangan tebang pilih," ujar Hery.

Baca juga: Jangan Lelah Bertobat kepada Allah SWT, Begini Pesan Rasulullah SAW

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sektor transportasi sektor transportasi berkontribusi sebesar 44 persen dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31 persen, lalu manufaktur industri 10 persen, sektor perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen. 

Dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, disebutkan disumbang dari sektor transportasi sebesar 96,36 persen atau 28.317 ton per tahun, disusul pembangkit listrik 1,76 persen 5.252 ton per tahun dan industri 1,25 persen mencapai 3.738 ton per tahun.

"Perlunya kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar. Karena jenis ini menyumbang emisi karbon monoksida yang cukup tinggi," ucap Hery.

Baca juga: 10 Makanan yang Diharamkan dalam Islam dan Dalil Larangannya

Hery mendorong ASN menjadi teladan untuk menggunakan BBM non subsidi maupun kendaraan listrik. Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono baru saja menghimbau para pegawai eselon IV di lingkungan Pemprov Jakarta menggunakan sepeda motor listrik. 

Selain itu, terdapat Inpres No 7/2022 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

"Inpres tersebut belum ditindaklanjuti secara masif di hampir semua instansi pemerintah pusat dan daerah, terutama di wilayah Jakarta," ujar Hery.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler