Pengamat: Menteri Luar Negeri Libya Hanya Kambing Hitam

Menlu Libya dipecat setelah melakukan pertemuan rahasia dengan Menlu Israel.

AP Photo/Darko Vojinovic, File
Menteri Luar Negeri Libya Najla al-Mangoush.
Rep: Lintar Satria Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perdana Menteri Libya dari pemerintah yang diakui internasional, Abdul Hamid Dbeibah, mendapat sorotan atas perannya dalam upaya normalisasi hubungan dengan Israel. Beberapa pihak menyerukan pemecatannya.

Baca Juga


Dbeibah, kepala Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang berbasis di Tripoli, memecat Najla al-Mangoush setelah menteri luar negeri itu bertemu Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen, di Roma pekan lalu. Sejak saat itu al-Mangoush meninggalkan Libya.

Pada Ahad (27/8/2023) Kementerian Luar Negeri Israel mengeluarkan pernyataan yang mengatakan  al-Mangoush dan Cohen membahas cara-cara agar kedua negara memiliki "hubungan yang baik."  Pertemuan tersebut memicu protes di Tripoli dan kota-kota lain, para demonstran memblokir jalan dengan membakar ban dan mengibarkan bendera Palestina.

Parlemen saingan Libya di bagian timur yang menolak GNU mengatakan mereka akan mengadakan dengar pendapat mengenai pertemuan tersebut. Sementara Dewan Kepresidenan yang berbasis di Tripoli meminta klarifikasi dari Dbeibah dan Dewan Tinggi Negara, badan penting lainnya, mengutuk pertemuan itu.

Berdasarkan undang-undang tahun 1957 di Libya, memiliki hubungan resmi dengan Israel adalah ilegal. Pengamat mengatakan al-Mangoush merupakan kambing hitam atas keputusan yang dibuat para pemimpin saingan Libya, dan mengaitkan pertemuan tersebut dengan upaya Amerika Serikat (AS) untuk menekan lebih banyak negara Arab untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.

Pakar Libya Anas El Gomati dari Sadeq Institute mengatakan Dbeibah, pemimpin pemerintah tandingan Khalifa Haftar, dan parlemen yang berbasis di wilayah timur yang mendukungnya "telah menggunakan menteri luar negeri perempuan pertama Libya sebagai orang yang harus disalahkan atas keputusan-keputusan yang mereka ambil".

"Ini bukan tentang politik, ini adalah pengambinghitaman terang-terangan," kata El Gomati seperti dikutip Aljazirah, Selasa (29/8/2023).

Dua orang pejabat Libya mengatakan pada Januari lalu, Dbeibah bertemu dengan direktur CIA Amerika Serikat, William Burns, di Tripoli. Mereka membahas normalisasi hubungan dengan Israel.

Salah satu pejabat yang tidak disebutkan namanya itu mengatakan Dbeibah memberikan persetujuan awal untuk bergabung dengan Perjanjian Abraham yang ditengahi AS. Tapi ia khawatir dengan reaksi publik di negara yang dikenal karena dukungannya terhadap perjuangan Palestina itu.

"Dbeibah harus mundur dan ia tahu dia berada di bawah tekanan dalam beberapa minggu terakhir," kata mantan penasihat pemerintah transisi Libya setelah Muammar Gaddafi digulingkan, Omar Turbi

Turbi mengatakan Dbeibah "sangat bertanggung jawab" atas pertemuan tersebut. Ia menambahkan perdana menteri telah bertemu dengan Mossad Israel bahkan sebelum berbicara dengan Burns, dan "terus melakukan hal tersebut dengan frekuensi yang sering".

"AS seharusnya memiliki akal yang lebih baik daripada mencoba menormalkan hubungan antara Libya dan Israel," katanya.

Ia menggambarkan Libya sebagai negara yang "tidak berfungsi".

Skandal pertemuan tersebut menambah krisis politik internal Libya. Hal ini memberikan amunisi tambahan kepada para kritikus Dbeibah saat masa depan pemerintahan sementaranya sudah dipertanyakan.

Pengamat Libya di Royal United Services Institute for Defense and Security Studies yang berbasis di London, Jalel Harchaoui mengatakan Dbeibah "mencoba bermain diplomasi namun gagal karena dia tidak mengevaluasi dengan benar" respon warga Libya yang menentang hubungan dengan Israel.

Harchaoui juga mengatakan  pertemuan tersebut didorong tekanan dari PBB maupun AS untuk melanjutkan pemilihan presiden dan legislatif yang telah lama tertunda.

Di Israel, Menteri Luar Negeri Cohen dikritik karena berbicara mengenai pertemuan tersebut kepada media, dan pelaksana tugas duta besar AS untuk Israel menyampaikan ketidaksenangan pemerintahnya.

Menurut stasiun televisi Israel, Channel 13, pemerintah AS menyalahkan Cohen sebagai pihak yang bersalah. Cohen, pada bagiannya, menjawab Israel "memahami masalahnya", dan tidak akan lagi mengekspresikan dirinya secara terbuka tentang masalah ini.

Kementerian Luar Negeri Israel berusaha menjauhkan diri dari tuduhan mereka yang membocorkan pertemuan tersebut, namun dokumentasi pertemuan ratusan pegawai kementerian luar negeri yang diperoleh Channel 13 menunjukkan Cohen membanggakan pertemuan tersebut.

"Saya memiliki seorang sukarelawan yang luar biasa, setengah jam yang lalu dia membantu saya menulis pesan kepada menteri. Seorang menteri atau menteri luar negeri, saya tidak bisa menyebutkan secara pasti, dari sebuah negara Muslim yang signifikan yang tidak memiliki hubungan dengan kami," katanya dalam dokumentasi tersebut.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler