AI, Kawah Candradimuka Dunia Pendidikan
Sejak kemunculannya pada tahun 2022, sistem Kecerdasan Buatan (AI Artificial Intelligence) seperti ChatGPT mematik beragam reaksi. Tak terkecuali dari para civitas akademika
Sejak kemunculannya pada tahun 2022, sistem Kecerdasan Buatan (AI – Artificial Intelligence) seperti ChatGPT mematik beragam reaksi. Tak terkecuali dari para civitas akademika. Dosen, pengajar bahkan orang tua punya kekhawatiran sistem AI jenis ini bisa mendegradasi sistem pendidikan. Ini karena ChatGPT bisa jadi jalan pintas bagi peserta didik untuk mencapai nilai yang bagus tanpa harus giat belajar.
Izabella Wagner, salah satu Profesor saya di Collegium Civitas University Polandia, bahkan merubah jenis tugas akhir semester mata kuliahnya. Semula tugas akhir semesternya berupa esai. Tetapi kemudian Ia merubah bentuk tugas akhir itu menjadi pengulasan jurnal dengan keharusan untuk punya pasangan yang menilai ulasan tersebut (Peer Review). Lain lagi dengan Profesor Omoye Akhagba. Ia tetap mengharuskan kami, Mahasiswa S2 jurusan Sosiologi, untuk membuat esai pada tugas akhir. Akan tetapi, kami juga diwajibkan untuk menyertakan studi kasus terbaru dalam esai tersebut. Ini mungkin salah satu cara dia untuk menyiasati kekurangan sistem AI, khususnya ChatGPT, yang punya basis data hanya sampai tahun 2021.
Namun, apakah cara-cara ini efektif dalam meredam “kreativitas” mahasiswa dalam mendayagunakan ChatGPT atau sistem AI sejenis? Tentu saja tidak sepenuhnya. Beberapa rekan saya cukup cerdik memanfaatkan ChatGPT dan beberapa sistem AI sejenis sebagai joki untuk menyelesaikan tugas kuliah mereka. Beberapa dari mereka bahkan cukup beruntung bisa memperoleh nilai sempurna dengan cara tersebut. Namun ada juga yang kurang beruntung bahkan tertangkap tangan oleh pihak kampus. Mereka kemudian diharuskan menjalani sidang kode etik akademik dan terancam dikeluarkan dari kampus.
Doris Wessels, Peneliti dan Pengajar Informatika di Kiel University of Applied Science mengatakan bahwa memang ada kecenderungan para pengajar akan kewalahan mengikuti perkembangan AI. Mereka kalah cepat dari para peserta didik yang punya rasa penasaran yang tinggi dan belajar memanfaatkan sistem AI ini melalui media sosial. Lebih parahnya lagi, tambah Doris, ada kemungkinan dimana para pengajar merasa sudah berhasil mengajar karena murid mereka terlihat sukses mengerjakan tugas akhirnya. Padahal muridnya tersebut sukses karena menggunakan joki ChatGPT atau sistem AI sejenis.
Banyak saran yang dilontarkan berbagai pihak tentang cara mengontrol perkembangan dan pendayagunaan sistem AI khususnya di dunia pendidikan. Diantaranya adalah menyarankan para tenaga pengajar untuk mengawasi muridnya secara ketat demi menghindari prilaku mencontek atau tindak kecurangan lain dengan menggunakan sistem AI. Bahkan para pimpinan perusahaan teknologi terkemuka, seperti Elon Musk, menyarankan bahwa pengembangan sistem AI seperti ChatGPT dan semisalnya dihentikan untuk sementara waktu.
Saran-saran dari pihak yang cenderung pesimis ini terkesan mustahil untuk dijalankan. Apalagi jika bicara tentang pengembangan dunia pendidikan. Saran-saran tersebut kontra-produktif dengan misi utama pendidikan yaitu membangun kepercayaan, rasa tanggung jawab, kemandirian dan semangat yang tinggi untuk mempelajari hal baru. Langkah yang lebih tepat adalah justru mendorong pemanfaatan teknologi ini dengan mengedepankan kebijaksanaan dan etika.
Dengan arah pengembangan yang tepat, sistem AI seperti ChatGPT dapat mendorong proses belajar mengajar menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Dari pengalaman pribadi saya, ChatGPT bisa membantu dalam meningkatkan kualitas esai saya. Seperti contohnya memperbaiki kesalahan gramatikal, memberi alternatif pilihan kata yang lebih akademik hingga meningkatkan efektivitas kata sambung pada kalimat-kalimat berbahasa Inggris. Andrew Balmer, Sosiolog Manchester University di Inggris, bahkan melakukan riset melalui percakapan dengan ChatGPT. Dari hasil “diskusi” itu, Andrew bisa lebih memahami potensi bahaya serta manfaat sistem AI khususnya pada praktik di bidang akademik.
Bukti lain bahwa sistem AI bisa bermanfaat pada dunia pendidikan bisa dilihat hasil eksperimen sistem AI, Khanmigo. Sistem AI besutan Sal Khan ini, diklaim berhasil menunjukkan potensi pengembangan proses belajar mengajar setelah diuji-coba pada ribuan peserta didik dan pengajar. Dengan mengintegrasikan sistem ini dengan ChatGPT, Khanmigo bahkan memungkinkan para peserta didik untuk berinteraksi dan bercakap-cakap dengan penulis novel “The Great Gatsby” yang sudah meninggal, Scott Fitzgerald. Tak hanya itu, Khanmigo juga memungkinkan para peserta didik untuk melakukan percakapan dengan Sungai Mississippi.
Sistem AI bukan hanya sekedar ancaman dan tantangan, tetapi juga peluang. Selayaknya kawah Candradimuka yang mampu mentransformasi Gatot Kaca menjadi berotot kawat dan bertulang besi. Pengembangan dan penggunaan AI yang berkelanjutan dan penuh tanggungjawab adalah sebuah keniscayaan bagi kita para Punggawa. Sehingga di masa depan sistem AI tidak dimanfaatkan para Kurawa untuk mendisrupsi sendi-sendi kehidupan manusia.