Bea Cukai AS Temukan Pakaian dari Kapas Xinjiang yang Dilarang Beredar
Jumlah kapas Xinjiang yang masuk ke AS harus nol.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekitar 27 persen pengujian yang dilakukan terhadap sepatu dan pakaian yang dikumpulkan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan Amerika Serikat pada Mei menunjukkan kaitannya dengan kapas dari wilayah Xinjiang, Cina. Padahal penggunaan kapas tersebut telah dilarang karena kekhawatiran akan kerja paksa.
Menurut dokumen yang diperoleh Reuters berdasarkan Undang-Undang (UU) Kebebasan Informasi menyoroti tantangan dalam mematuhi aturan yang bertujuan memblokir impor kapas terkait dengan kerja paksa di Cina. Hal ini memerlukan penghentian wilayah paling barat dari rantai pasokan pakaian siap pakai.
Untuk membantu menegakkan hukum, petugas bea cukai telah beralih ke pengujian isotop. Pengujian ini dapat menghubungkan kapas dengan wilayah geografis tertentu dengan menganalisis konsentrasi unsur-unsur stabil, seperti karbon dan hidrogen yang terdapat pada tanaman dan lingkungan tempat kapas tersebut ditanam.
Sebanyak 10 dari 37 pakaian yang dikumpulkan oleh Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan pada Mei akhirnya dikembalikan. Tindakan itu dilakukan karena konsisten dengan kapas yang berasal dari Xinjiang.
Sejauh ini, menurut dokumen pemerintah yang dirilis ke Reuters, para pejabat telah mengumpulkan setidaknya tiga kumpulan alas kaki dan pakaian sebagai bagian dari upaya penegakan hukum. Pengumpulan ini terjadi pada 22 Desember 2022, 11 April 2023, dan pada 23 Mei 2023. Secara keseluruhan, 13 dari 86 total tes, atau 15 persen, dianggap konsisten dengan Xinjiang.
Banyak informasi lain dalam dokumen tersebut telah disunting, termasuk merek pakaian yang diuji. Deskripsi item merinci berbagai pakaian, mulai dari boxer, jeans, dan kaos oblong hingga pakaian bayi dan gaun. Semuanya mengandung kapas, terkadang dicampur dengan tekstil lain seperti spandeks dan rayon.
Salah satu barang yang dikumpulkan pada Mei dan dikembalikan digambarkan sebagai “Kaus Mickey” yang terbuat dari campuran katun dan poliester. Profesor hak asasi manusia dan perbudakan kontemporer di Sheffield Hallam University di Inggris Laura Murphy mengatakan, beragamnya produk dan tingginya tingkat sampel positif menggarisbawahi sulitnya menegakkan larangan tersebut.
Jumlah kapas Xinjiang harus nol...
“Jumlah kapas Xinjiang yang masuk ke AS harus nol. Jadi, angka di atas nol persen seharusnya menjadi peringatan nyata," ujar Murphy.
Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan mengatakan pada Juni, pihaknya memprioritaskan tindakan terhadap barang-barang yang berisiko paling tinggi berdasarkan data dan intelijen saat ini. Namun badan itu menjelaskan, membagikan lebih banyak rincian secara publik akan mengkompromikan keberhasilan pekerjaan dan keamanan ekonomi serta nasional AS.
Direktur eksekutif Bea Cukai AS untuk penyelesaian perdagangan dan penegakan hukum Eric Choy menyatakan, pengujian isotop belum menjadi proses rutin bagi badan tersebut. Dia menyatakan, para pejabat di masing-masing pelabuhan AS dapat meminta pengujian jika menerima tuduhan tentang pengiriman tertentu atau mencurigai barang-barang tersebut ada kaitannya dengan Xinjiang.
Banyak pengecer juga beralih ke pengujian isotop dalam upaya menjaga rantai pasokan bebas dari kapas yang terkait dengan kerja paksa. Barang-barang yang diproduksi sebagian atau seluruhnya di Xinjiang dilarang di AS.
Sebuah laporan federal yang diterbitkan tahun lalu memperkirakan, bahwa kapas dari Xinjiang menyumbang sekitar 87 persen produksi Cina dan 23 persen pasokan global pada 2020 hingga 2021. Negara-negara termasuk Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh masih mengimpor kain jadi dalam jumlah besar dari Cina. Produk tersebut kemudian sering kali sampai ke AS dalam bentuk pakaian siap pakai yang dibuat oleh pemasok di negara-negara tersebut.
Tapi, para pejabat mengatakan pengujian isotop saja tidak cukup untuk membersihkan pengiriman yang ditahan di pelabuhan AS karena diduga terkait dengan Xinjiang. Semakin banyak pengecer dan produsen yang memeriksa secara langsung bahan-bahan mulai dari benang hingga kain jadi di berbagai titik dalam rantai pasokan menggunakan analisis ini. Namun, tidak ada jaminan bahan yang sama digunakan dalam produk siap pakai.
“Ini bukan solusi yang tepat. Pengujian yang dilakukan pada tingkat pemintalan atau tingkat benang dalam rantai pasokan belum tentu mewakili pengiriman yang sebenarnya," ujar Choy.