Warga Gaza Minta Israel Cabut Larangan Ekspor

Larangan ini karena tuduhan adanya penyelundupan bahan peledak di Jalur Gaza

EPA-EFE/ATEF SAFADI
Warga Palestina menuntut agar Israel mencabut larangan ekspor dari Jalur Gaza pada Selasa (5/9/2023) karena tuduhan penyelundupan bahan peledak
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Warga Palestina menuntut agar Israel mencabut larangan ekspor dari Jalur Gaza pada Selasa (5/9/2023). Pelarangan ini diberlakukan karena tuduhan adanya upaya penyelundupan bahan peledak.

Para penduduk mengatakan, pelarangan akan merugikan ribuan keluarga dan menghancurkan mata pencaharian yang rentan di daerah kantong yang diblokade tersebut. Di restoran dan peternakan ikan Al-Bahar (The Sailor) di tepi pantai, pemiliknya Mohammad Al-Hajj mengatakan, biasa mengekspor 20 ton ikan per minggu ke Israel dan Tepi Barat.

“Ikan di lemari es akan membusuk jika kita tidak bisa mengekspornya, dan kita akan terpaksa menjual ikan dari peternakan dengan harga terendah,” kata Hajj.

Hajj mengatakan bahwa pekerjaan bagi 200 pekerja di bisnisnya terancam kecuali jika larangan dicabut. Sedangkan juru bicara Persatuan Industri Palestina Wadhah Bseisso mengatakan, sebanyak 30 ribu pekerjaan bisa hilang jika penutupan terus berlanjut.

Israel mengatakan sehari sebelumnya, untuk sementara waktu menghentikan barang-barang komersial meninggalkan Gaza. Informasi tersebut didapat dari Komite Koordinasi Pemasukan Barang ke Jalur Gaza yang beroperasi di bawah Otoritas Palestina. Sebelumnya Israel mengklaim telah menemukan cara penyelundupan bahan peledak yang disembunyikan di dalam pakaian dari Gaza ke Tepi Barat.

Para inspektur dari Kementerian Pertahanan Israel memeriksa tiga truk angkut. Militer Israel menyatakan, Petugas menemukan beberapa kilogram bahan peledak berkualitas tinggi yang disembunyikan di dalam lapisan pakaian.

Atas keputusan pelarangan akibat penemuan itu, nasib sekitar dua juta warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza semakin memprihatinkan.  Mereka adalah keturunan pengungsi yang melarikan diri atau diusir dari wilayah yang sekarang menjadi wilayah Israel ketika negara ini didirikan pada 1948.

Sejak kelompok Hamas mengambil alih kekuasaan di wilayah tersebut pada 2007, Gaza menghadapi kondisi pengangguran tertinggi di dunia. Kondisi ekonomi yang berantakan salah satunya dipicu olej blokade terhadap banyak barang yang diberlakukan oleh Israel dengan dukungan Mesir.

Bangunan-bangunan di wilayan ini juga telah rusak parah dalam empat perang besar dan sejumlah bentrokan lainnya antara Hamas dan Israel. Juru bicara Hamas Hazem Qassem mengatakan, keputusan Israel akan meningkatkan ketegangan yang sudah ada karena berlanjutnya blokade dan agresi Israel terhadap rakyat Palestina.

Sedangkan di Ramallah, wilayah pendudukan Tepi Barat, Menteri Ekonomi Palestina Khaled Assaili meminta Israel membatalkan larangan yang menghentikan ekspor Gaza ke Israel dan Tepi Barat. Dia menyatakan, keputusan tidak adil tersebut menambah kebijakan hukuman kolektif yang diadopsi oleh Israel sejak 2007 yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan di Gaza.

Ekspor Gaza diperkirakan mencapai 134 juta dolar AS per tahun. Pengiriman itu, menurut Kementerian Perekonomian Hamas, sebagian besar ke Israel dan Tepi Barat.

Kementerian Pertanian yang dikelola Hamas di Gaza mengatakan, tindakan Israel akan berdampak pada 60 ribu keluarga petani dan nelayan. Diperkirakan kerugian harian mencapai satu juta shekel atau 263 ribu dolar AS.

"Kami menuntut keputusan yang tidak adil itu dicabut. Keputusan ini tidak didasarkan pada pembenaran nyata dan melanggar hukum internasional dengan menggunakan dalih yang rapuh," kata
Kementerian Pertanian dalam sebuah pernyataan.

Meskipun ada blokade, Israel mengizinkan ribuan pekerja meninggalkan Gaza untuk bekerja di Israel dan Tepi Barat. Israel mempertahankan pos bea cukai untuk memungkinkan ekspor dalam upaya mendorong stabilitas ekonomi pada tingkat tertentu.

Selain ikan dan hasil pertanian, Gaza juga mengekspor sejumlah besar tekstil dan produk lainnya. Pejabat di Kementerian Ekonomi Gaza Osama Nofal mengatakan, penutupan perbatasan akan memiliki dampak yang lebih luas selain pembekuan ekspor.

“Keputusan tersebut akan berdampak pada instalasi industri, penutupannya, dan mungkin akan memberhentikan banyak pekerja serta meningkatkan pengangguran. Keputusan seperti itu benar-benar sebuah bencana besar,” ujar Nofal.

Baca Juga


sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler