Harga Beras Kenapa Naik? Berikut Daftar Penyebab Utamanya
Agak sulit untuk memastikan penyebabnya kenaikan harga beras karena kompleks.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan harga gabah/beras tinggi di musim gadu (Juni-September) ketimbang di musim panen raya (Februari-Mei) sebetulnya merupakan siklus normal. Namun, ucap Khudori, saat ini harga memang sudah lumayan tinggi dari HPP.
Khudori menyampaikan HPP gabah kering panen (GKP) di petani sebesar Rp 5.000 per kg. Namun, harga di pasar sudah jauh meninggalkan HPP.
"Rata-rata sudah lebih dari Rp 6.000 per kg, bahkan ada yang sudah menyentuh Rp 7.000 per kg. Ini kenaikan yang luar biasa," ujar Khudori saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Khudori menilai agak sulit untuk memastikan penyebabnya kenaikan harga beras. Pasalnya, banyak faktor yang berkontribusi terhadap kenaikan harga beras. Khudori mengatakan siklus panen memang musim gadu harga gabah/beras akan lebih tinggi dari musim panen raya. Kemudian, faktor lain ialah perkiraan produksi beras yang menurun.
"Perkiraan ini membuat keseimbangan pasokan dan permintaan tak seimbang, yang berujung pada ekspektasi harga yang naik," ucap Khudori.
Khudori mengatakan produksi pada sembilan bulan pertama, merujuk data Kerangka Sampel Area BPS, diproyeksikan 25,64 juta ton GKG (gabah kering giling). Kendati data Juli-September 2023 masih proyeksi, yakni berdasarkan luas tanam, angka itu turun dibandingkan sembilan bulan pertama 2022 yang tercatat 26,17 juta ton GKG.
Di sisi lain, ucap Khudori, pada periode yang sama (Januari-September 2023) konsumsi beras nasional diproyeksikan meningkat, yakni mencapai 22,89 juta ton. Menurut data BPS, angka itu lebih tinggi dibandingkan konsumsi beras selama sembilan bulan pertama 2022 yang mencapai 22,62 juta ton.
"Jika dilihat lebih detail, neraca beras nasional (produksi dikurangi konsumsi bulanan) mulai defisit lagi sejak Juli, Agustus dan September 2023," ucap Khudori.
Khudori mengatakan jumlah defisit beras selama tiga bulan itu diestimasi sebesar 420 ribu ton, setelah lima bulan berturut-turut neraca beras surplus 4,35 juta ton. Surplus pada musim rendeng/panen raya terjadi karena kinerja luas panen pada Maret dan April amat tinggi sehingga produksi gabah di Maret 8,89 juta ton dan April 6,24 juta ton GKG.
Khudori menyebut faktor lain ialah El Nino. Meski bukan hal baru, akan tetapi pemberitaan dan eksposure El Nino cukup luas, terutama dampaknya pada sektor pertanian. Sejumlah pihak memperkirakan produksi padi bakal turun 1,5 juta ton GKG. Bahkan, ada yang memperkirakan produksi beras turun hingga lima persen.
"Jika yang terakhir ini yang terjadi, lumayan besar," sambung Khudori.
Faktor berikutnya, dinamika global yang tecermin dari kebijakan negara-negara eksportir beras yang cenderung restriktif. Salah satunya India. Khudori menyampaikan keputusan India pada menutup ekspor beras non-basmati pada Juli lalu berdampak pada kenaikan harga beras, terutama negara-negara yang selama ini tergantung pada beras impor dari India.
Khudori menyampaikan Indonesia impor dari India sebagian besar dalam bentuk beras patahan (broken rice), sebenarnya tidak bakal terdampak langsung oleh kebijakan India, meski terdapat sentimen negatif.
"Rangkaian berbagai faktor inilah yang sepertinya membuat harga gabah/beras terus naik," lanjut Khudori.
Khudori juga menilai upaya diversifikasi pangan masih jauh dari kata berhasil. Menurut Khudori, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih parsial dan belum menyeluruh dalam mengakselerasi diversifikasi pangan.
"Perlu ada terobosan dalam bentuk inovasi dan teknologi baru yang bisa melipatgandakan produksi dengan input yang makin minim," ucap Khudori.
Khudori mengatakan La Nina pada tiga tahun berturut-turut yang tidak diikuti kenaikan produksi beras menunjukkan kapasitas produksi yang menurun. Pemerintah, ucap dia, mau tidak mau harus ada melakukan langkah terukur untuk memperluas lahan pangan.
Khudori menyampaikan lahan pangan Indonesia terbilang kecil. Dia menilai penambahan lahan menjadi keharusan untuk memperbesar kapasitas produksi.
"Yang tidak kalah penting adalah pendampingan intens kepada petani. Saat ini petani enggak ada yang membimbing dan memandu. Lembaga riset dan perguruan tinggi dengan para penelitinya mestinya bisa terjun langsung dan menyatu dengan petani di lahan," kata Khudori.