Berdamai Sementara untuk Pertukaran Tahanan, AS-Iran akan Tetap Bermusuhan
Normalisasi hubungan dengan AS berarti melewati garis batas revolusi Iran.
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Melalui mediasi Qatar, Pemerintah AS dan Iran bersepakat melakukan pertukaran tahanan. Pada Senin (18/9/2023) lima warga AS dibebaskan, demikian pula warga Iran serta dana sebesar 6 miliar dolar AS milik Iran dicairkan. Uang ini dikirim ke rekening yang ada di Qatar.
Meski demikian, kedua negara masih jauh dari upaya menormalisasi hubungan setelah bertahun-tahun bermusuhan. Sebab menurut laporan Reuters, Senin, permusuhan terhadap AS selalu menjadi isu utama dalam kepemimpinan spiritual Iran.
Selain memang, permusuhan disebabkan isolasi politik dan sanksi ekonomi terhadap Iran sejak Washington mengalami hubungan diplomasi yang sangat buruk dengan Teheran tak lama setelah terjadinya revolusi Islam di Iran pada 1979.
Pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Ali Khamenei bisa menoleransi kesepakatan terbatas dengan ‘setan besar’ di tengah kemarahan public atas buruknya kondisi ekonomi Iran. ‘Setan besar’ menjadi sebutan Iran pada AS, sebaliknya Iran dilabeli sponsor utama terorisme oleh AS.
‘’Namun, normalisasi hubungan dengan AS berarti melewati garis batas revolusi Iran,’’ demikian pernyataan sejumlah orang dalam di pemerintahan Iran. Mereka menambahkan, kepemimpinan ulama di Iran akab keberatan dengan normalisasi hubungan dua negara.
Normalisasi dengan Washington, jelas mereka, dinilai bisa melemahkan legitimasi Republik Islam Iran dan pengaruhnya di kawasan. Selain itu, di dalam negeri normalisasi bakal menganggu otoritas pemimpin spiritual Iran, Khamenei.
AS juga menegaskan akan tetap bersikap keras pada Iran. Sejumlah pejabat senior pemerintah Presiden Joe Biden, Ahad (17/9/2023) menegaskan Washington tak kendur untuk menekan Teheran dengan menetapkan sanski baru.
Yakni sanksi pada kementerian intelijen dan mantan presiden Mahmud Ahmadinejad atas keterlibatannya dalam penahanan warga AS. Tak hanya itu, AS meningkatkan keterlibatannya di kawasan, di antaranya mengadang pengapalan senjata Iran ke Yaman.
Meski demikian, terkait isu nuklir Iran, pintu diplomasi tak sepenuhnya tertutup. Masih ada ruang terisasi untuk negosiasi. ‘’Jika kami melihat sebuah kesempatan, kami akan mengeksplorasinya tetapi untuk saat ini saya tak ada yang bisa dibicarakan,’’ kata seorang pejabat senior AS.
Setelah resmi menjabat pada Januari 2021, Presiden Joe Biden berupaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang disepakati pada masa Presiden Barack Obama. Isinya, Iran membatasi program nuklirnya dan sanksi AS, UE, dan PBB atas Iran dicabut.
Langkah Biden ini menyusul kebijakan presiden sebelumnya, Donald Trump yang memutuskan keluar dari kesepakatan pada 2018. Trump menganggap kesepakatan ini terlalu bermurah hati pada Teheran. Ia kemudian bahkan memperluas sanksi terhadap Iran.
Meski demikian, setahun lalu upaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tampaknya mandek. Iran menolak yang disampaikan UE sebagai mediator atas tawaran akhir mereka. Namun awal tahun ini, AS dan Iran kembali mencoba mencapai kesepakatan.
Para pengamat menyatakan hal itu sebagai kesepahaman, yang tak pernah diakui Washington, untuk menurunkan ketegangan atas isu nuklir dan lainnya.
Saat ditanya apakah akan pembicaraan tak langsung dengan Iran pekan ini di Majelis Umum PBB, New York, pejabat AS menyatakan,’’Anda bertanya apakah akan ada pembicaraan pada pekan ini, jelas tidak ada.’’
Tak jelas apakah pernyataan ini menampik adanya pembicaraan tak langsung atau ada kemungkinan pula hal itu dilakukan.