Diplomat Tertinggi Cina Berkunjung ke Rusia
AS menuduh Cina membantu ekonomi dan memasok teknologi ke Rusia sejak perang dimulai.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Direktur Kantor Komisi Kebijakan Luar Negeri Komite Pusat Partai Komunis Cina yang merupakan diplomat tertinggi di Cina, Wang Yi berkunjung ke Rusia. Kunjungan ini digelar saat Moskow berusaha mendapat dukungan untuk perangnya di Ukraina.
Wang dan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Lavrov mengatakan setiap upaya untuk mengakhiri perang harus mempertimbangkan kepentingan Moskow. Sebagai sekutu dekat Moskow, Beijing dituduh mendukung Rusia secara tidak langsung selama perang. Rusia membantah tuduhan tersebut.
Media Rusia mengatakan perjalanan Wang juga akan membuka jalan bagi kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Cina dalam waktu dekat. Kunjungan Wang digelar setelah Putin bertemu Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un yang berkunjung ke Rusia selama satu pekan.
Barat khawatir pertemuan itu membuka jalan kedua negara untuk mencapai kesepakatan senjata yang dapat melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Dikutip dari BBC, Selasa (19/9/2023) Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan Wang berada di Rusia selama empat hari untuk menggelar "konsultasi keamanan strategis".
"(Wang dan Lavrov mendiskusikan perang Ukraina)"dan mencatat upaya sia-sia untuk menyelesaikan krisis tanpa memperhitungkan kepentingan Rusia dan, lebih khusus lagi, partisipasinya," kata Kementerian Luar Negeri Cina dalam pernyataan yang dirilis usai pembicaraan Senin (18/9/2023).
Cina mengeluarkan rencana perdamaian Ukraina sendiri yang diluncurkan dalam perundingan diplomasi yang dilakukan Wang pada awal tahun ini ketika ia terakhir kali mengunjungi Moskow dan bertemu dengan Putin.
Direktur pelaksana Asia Society Policy Institute Rorry Daniels mengatakan sementara Cina sangat ingin perang Ukraina berakhir sehingga bisa memperbaiki hubungannya dengan Eropa.
"(Cina juga ingin) memisahkan hasil antara berakhirnya perang dengan siapa yang harus disalahkan atas perang ini karena Cina bersimpati pada Rusia," kata Daniels.
AS menuduh Cina membantu ekonomi dan memasok teknologi ke Rusia sejak perang dimulai. Sebuah laporan intelijen AS yang dirilis pada bulan Juli mengatakan Beijing "mengupayakan berbagai mekanisme untuk mendukung ekonomi Rusia yang mengurangi dampak sanksi dan kontrol ekspor" Barat.
Laporan tersebut mengatakan Cina meningkatkan pembelian ekspor energi Rusia, meningkatkan penggunaan mata uangnya dalam transaksi dengan Rusia, dan "kemungkinan" memasok teknologi ganda yaitu teknologi yang dapat digunakan untuk tujuan sipil dan militer seperti drone di Ukraina.
Cina dengan konsisten membantah tuduhan-tuduhan tersebut dan menegaskan mereka mempertahankan posisi yang obyektif dalam perang tersebut. Awal bulan ini, Putin mengatakan ia berharap untuk bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping, namun tidak mengatakan kapan.
Beberapa pengamat yakin Putin kemungkinan akan menghadiri Forum Sabuk dan Jalan bulan depan. Ia belum melakukan perjalanan ke luar negeri sejak Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya pada bulan Maret atas kejahatan perang di Ukraina.
Terakhir kali Putin bepergian ke luar negeri pada Desember 2022 lalu ketika ia mengunjungi Belarusia dan Kirgistan. "Mengundang Putin ke Cina adalah cara untuk menunjukkan dukungan kepada Rusia, tetapi dukungan itu juga harus dibingkai sebagai upaya yang sah untuk membawa Rusia ke meja perundingan agar Cina tidak memperburuk posisinya dengan Eropa," kata Daniels.
Kunjungan Wang dilakukan ketika Kim mengakhiri kunjungannya yang sangat kontroversial ke Rusia. Pada hari Senin kemarin Kim pulang dengan membawa hadiah termasuk senapan buatan Rusia, sarung tangan kosmonot, rompi antipeluru, topi bulu, dan drone militer.
AS menduga dalam kunjungannya Kim membahas penjualan senjata Korea Utara ke Rusia. Moskow diperkirakan menghadapi kekurangan senjata dan amunisi.
Rusia dan Korea Utara mengatakan mereka berbicara mengenai 'kerja sama militer' dan bantuan untuk program satelit Pyongyang.
Ketika ditanya mengenai kunjungan Kim pekan lalu, kementerian luar negeri Cina menolak memberikan komentar dengan mengatakan kunjungan itu adalah "sesuatu yang terjadi di antara kedua negara".
Namun beberapa pengamat yakin dukungan timbal balik antara Korea Utara dan Rusia terjadi dengan sepengetahuan atau persetujuan implisit dari Cina, mengingat hubungan dekat Beijing dengan kedua negara tersebut.
Hubungan tersebut melampaui ideologi sosialis dan ketidakpercayaan mereka terhadap AS dan Barat. Beijing sudah lama menjadi jalur kehidupan ekonomi Pyongyang melalui perdagangan, dan pada tahun lalu Beijing mulai menjadi jalur kehidupan ekonomi Moskow melalui peningkatan pembelian minyak dan gas Rusia.
"Apapun yang terjadi dengan Rusia dan Korea Utara tidak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan Cina, saya rasa mereka tidak akan bekerja sama secara militer tanpa persetujuan Beijing," kata pakar ahli hubungan Cina-Rusia dari University of New South Wales di Australia, Alexander Korolev.
Ia menambahkan Cina bahkan dapat melihat Korea Utara sebagai proxy yang berguna untuk membantu Rusia dalam perang Ukraina. "Cukup dengan memberikan lampu hijau kepada Korea Utara untuk memiliki kerja sama militer dengan Rusia adalah cara untuk membantu Rusia dengan biaya reputasi yang sangat rendah. Rusia dapat menyalahkan rezim nakal Korea Utara (yang tindakannya) tidak ada hubungannya dengan mereka. Ini akan menjadi langkah yang cerdas, jika memang demikian," katanya.