Kasus Nadin Amizah, Apakah Termasuk Pelecehan?
Tubuh Nadin Amizah disentuh tanpa izin ketika manggung.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden kurang menyenangkan yang dialami penyanyi Nadin Amizah membuka ruang diskusi mengenai batasan interaksi antara penggemar dan figur publik yang diidolakan. Menurut Nadin, amat tidak manusiawi dan tidak sepantasnya jika penggemar "seenaknya" menyentuh tubuh figur publik tanpa izin.
Hal itu dialami Nadin ketika manggung di Cihampelas Walk Bandung, Jawa Barat, pada Ahad (24/9/2023). Saat Nadin melintasi kerumunan penonton, banyak yang berebutan memegang tubuhnya di bagian tangan dan bahu. Sang penyanyi mengatakan, mayoritas yang menyentuhnya adalah perempuan.
Dalam unggahannya di Instagram sehari setelahnya, Senin (25/9/2023), Nadin lewat akun @cakecaine menyampaikan bahwa menurut dia, itu sudah termasuk dalam kategori pelecehan atau harassment. Akan tetapi, Nadin tidak menganggap terjadi pelecehan seksual.
Benarkah yang dialami Nadin adalah salah satu bentuk pelecehan? Psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan berpendapat, apa yang dialami Nadin bisa dikategorikan pelecehan fisik atau physical harassment. Sani menjelaskan, pelecehan fisik merupakan sentuhan atau segala sesuatu yang menyentuh badan orang lain tanpa izin dan membuat orang itu merasa tidak nyaman.
"Kalau nyaman, tidak masalah. Tapi kalau ada yang menyentuh badan dan membuat seseorang merasa nyaman dan pelakunya tidak meminta izin, itu bisa disebut physical harassment," ujar Sani saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (26/9/2023).
Ketika Nadin "curhat" di media sosial soal apa yang dia alami, ada seorang warganet berpendapat itu sudah jadi konsekuensi sebagai figur publik. Menurut Sani, tidak demikian. Idealnya, batasan interaksi antara manusia sudah seharusnya sesuai dengan norma sosial.
Termasuk, penerapan etika tidak boleh menyentuh tubuh orang lain tanpa izin, meski itu anggota badan yang dianggap "biasa" atau pun dengan gender yang sama. Kendati demikian, Sani menyadari bahwa terkadang hal serupa sukar diterapkan dalam relasi antara idola dan penggemarnya.
Meski tidak semua bisa digeneralisasi, Sani menyoroti bahwa terkadang sebagian penggemar fanatik berlaku anarkis dan tidak bisa dibendung. Misalnya, saling dorong untuk sekadar bisa bersalaman, mendekat, atau menyentuh sosok yang sangat diidolakan.
Itu sebabnya, dalam situasi tertentu seperti saat manggung atau acara jumpa penggemar, sudah disiapkan penjaga yang mengawal ketat sang figur publik. Sani yang menjabat sebagai Direktur Lembaga Psikologi Daya Insan itu juga mengatakan, batasan interaksi juga tergantung kebutuhan dan kenyamanan setiap figur publik.
Misalnya, ada penyanyi yang enggan "diserbu", maka dia tidak mendekat ke penggemar, melainkan hanya melambaikan tangan dari jauh. Tetapi, ada kalanya penyanyi datang mendekat ke penggemar, terkadang membiarkan tangan atau badannya disentuh, seperti berfoto atau bersalaman, dengan situasi terkontrol karena ada penjaga.
"Jadi sebenarnya situasi itu bisa di-set up, dikontrol, sebatas mana yang dirasa nyaman. Makanya public figure kalau jalan-jalan sering memilih tempat, memakai body guard. Tujuannya untuk itu, karena tidak semua fans bisa dikendalikan, tidak bisa dituntut juga," ujar Sani.