Libatkan Kejagung Bongkar Dugaan Korupsi Dapen BUMN, Pengamat: Langkah Erick Tepat
Ini diharapkan dapat membuat transparansi terhadap penyelesaian kasus di Dapen BUMN.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Associate Director BUMN Research Group Lembaga Management Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB), Universitas Indonesia (UI), Toto Pranoto, menyebut sikap Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir melibatkan Kejaksaaan Agung (Kejagung) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bersih-bersih dana pensiun (dapen) BUMN merupakan langkah yang tepat. Toto menilai hal ini diharapkan dapat membuat transparansi terhadap penyelesaian kasus di dapen BUMN.
"Jadi, tidak perlu ada yang ditutupi, tidak juga dalam rangka kepentingan pencitraan Kementerian BUMN. Namun, sepenuhnya APH (aparat penegak hukum) akan bekerja sesuai prinsip keadilan dan transparansi sehingga penyelesaian kasus manipulasi Dapen BUMN bisa diselesaikan tuntas," ujar Toto di Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Toto menyampaikan ketegasan seperti ini sangat diperlukan dalam membenahi tata kelola Dapen BUMN. Toto mengatakan kelemahan pengelolaan dapen BUMN lantaran kurangnya pengawasan yang terstruktur dari elemen pendiri dapen dan lemahnya kualitas pengelola dapen, terutama di fungsi pengelola investasi.
Toto menyebut kelemahan pendiri dapen, yakni BUMN yang menjadi induk dapen, terkait mekanisme kontrol atas kebutuhan pembiayaan dapen dan kontrol atas rencana investasi yang akan dikerjakan.
"Apabila fungsi pengawasan oleh unsur pendiri ini cukup kuat, mestinya bisa mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan oleh manajemen pengelola dapen," ujar Toto.
Pengamat BUMN itu mencontohkan penempatan investasi langsung yang tidak feasible secara bisnis atau penempatan investasi portofolio yang tidak proper. Hal ini mestinya bisa dikontrol unsur pengawas dari pendiri kalau bekerja dengan benar.
Toto menyampaikan kelemahan Dapen BUMN yang lain terkait kualitas pengelola Dapen BUMN yang di bawah standar, terutama pada aspek fungsi pengelolaan dana. "Apalagi ini juga diperburuk dengan lemahnya praktik good corporate governance (GCG). Hal ini menyebabkan pengembalian investasi tidak optimal, bahkan cenderung merugi," kata Toto.