Psikolog Paparkan Penyebab Maraknya Kasus Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa
Masa remaja adalah masa yang sangat berat dan rentan akan depresi.
REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL — Aksi bunuh diri seorang mahasiswi kampus swasta di DIY sempat menimbulkan kehebohan. Sebab, aksi nekatnya tersebut dilakukan dengan lompat dari gedung asrama kampus.
Tidak hanya itu, beberapa waktu belakangan ini banyak kasus serupa, mahasiswa melakukan aksi bunuh diri dengan berbagai alasan.
Menurut Psikolog Klinis Kasandra Putranto, masa remaja adalah masa yang sangat berat dan rentan akan depresi dikarenakan masa ini adalah fase penuh perubahan, baik anatomis, fisik, emosional, intelegensi, maupun hubungan sosial.
"Terlebih lagi bagi kebanyakan orang, menjadi mahasiswa adalah periode pertama dalam hidup mereka yang mereka harus jauh dari orang-orang dan lingkungan yang familiar bagi mereka. Perubahan tersebut lebih terasa yang membuat hidup terasa lebih berat," tutur Kasandra kepada Republika, Rabu (4/10/2023).
Ia memaparkan, ada beberapa masalah yang dihadapi oleh mahasiswa yang dapat mengakibatkan stres tinggi hingga berpikir untuk bunuh diri. Di antaranya adalah keuangan, masalah dengan dosen, hubungan akademis, permasalahan dengan teman, masalah percintaan, dan gangguan kesehatan.
Faktor yang dapat memengaruhi orang untuk bunuh diri adalah tingkat depresi yang tinggi, kecerdasan emosi yang rendah, tipe kepribadian, dan minimnya dukungan sosial.
"Umur mahasiswa memang berisiko untuk memiliki depresi, ditambah dengan stres tinggi dan kurangnya dukungan lingkungan. Hidup di lingkungan yang baru dapat menjadi alasan mengapa mahasiswa banyak yang akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup mereka," katanya menjelaskan.
Apabila menghadapi seseorang yang berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya, kata Kasandra, bentuk bantuan yang paling penting adalah dengan hadir di sisi individu dan memberikan dukungan, baik secara langsung (tatap muka) maupun tidak langsung (telepon).
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan adalah menunjukkan bahwa kita peduli dengan orang tersebut, seperti menanyakan kondisinya. Kemudian mendengarkan ceritanya secara aktif.
"Tunjukkan bahwa kita fokus mendengarkan cerita individu tersebut dan tidak menghakiminya, tidak memotong pembicaraan, dan berusaha memahami sudut pandang individu tersebut, dan menguapkan terima kasih kepada individu karena sudah terbuka kepada kita," katanya memaparkan.
Kemudian arahkan individu untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut dari tenaga profesional. Kita dapat membantu individu untuk mencari tenaga profesional yang tersedia di lingkungan sekitar seperti psikolog atau psikiater, juga dapat menawarkan untuk menemani individu tersebut ketika bertemu dengan tenaga profesional.
Tidak hanya itu, jauhi akses barang-barang berbahaya yang dapat memicu percobaan bunuh diri dari individu.
"Selain itu, kepekaan akan adanya tanda-tanda resiko percobaan bunuh diri juga diperlukan," kata Kasandra.
Beberapa tanda yang menunjukkan risiko bunuh diri adalah mengatakan dirinya merasa putus asa dan tidak berguna, merasa terkurung, menjauh dari teman, keluarga, dan lingkungan, cemas, tidak dapat tidur, perubahan mood drastis, merasa tidak ada alasan untuk hidup, merasa menjadi beban untuk orang lain, berbicara mengenai kematian atau bunuh diri, dan mencari cara-cara untuk melakukan bunuh diri.
Ini menjadi kasus kesekian kalinya mahasiswa melakukan tindakan bunuh diri. Di Yogyakarta, akhir tahun lalu juga terjadi peristiwa bunuh diri di mana seorang mahasiswa UGM memilih mengakhiri hidupnya juga dengan cara melompat dari gedung tinggi.