Ilmuwan: Kita tidak Dapat Atasi Krisis Iklim tanpa Pohon
Perjanjian Iklim Paris tidak bisa dicapai tanpa konservasi dan restorasi alam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Bill Gates baru-baru ini yang mengatakan bahwa menanam pohon secara massal kurang efektif dalam memengaruhi perubahan iklim, dinilai hanya sebuah pengalihan isu. Pasalnya, ada banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengatasi krisis iklim tanpa pohon.
Para ilmuwan, ahli konservasi, dan berbagai studi telah menegaskan bahwa Perjanjian Iklim Paris tidak bisa dicapai tanpa konservasi dan restorasi alam. Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) akan menjadi bagian dari solusi dalam jangka panjang, namun dalam tahap awal itu belum terbukti, apalagi memastikan komitmen negara-negara on track dalam mencegah pemanasan global.
Adapun solusi berbasis alam adalah teknologi alami yang hemat biaya yang tersedia bagi kita saat ini dan dapat memberikan sepertiga dari apa yang dibutuhkan untuk membatasi perubahan iklim. Pohon, dan lebih khusus lagi, hutan, adalah bagian penting dari hal tersebut, keduanya mengatur pola cuaca lokal dan mempengaruhi iklim global. Jadi, perlindungan hutan dunia yang masih ada dan restorasi hutan yang telah hilang, serta lahan hutan yang telah terdegradasi, merupakan hal yang sangat penting dalam upaya memerangi perubahan iklim.
Namun, deforestasi terus berlanjut dengan cepat, terutama di hutan hujan tropis, yang merupakan salah satu sistem penyimpanan karbon paling efektif di planet ini. Karenanya, untuk membatasi pemanasan global, deforestasi harus dihentikan. Dan para saintis telah mengungkap bahwa melindungi hutan yang masih ada tidaklah cukup; kita juga harus memulihkan hutan yang telah hilang.
Restorasi hutan yang dimaksud bukan berarti penanaman monokultur secara massal. Restorasi ekosistem hutan yang dimaksud adalah bagaimana tetap mempertahankan keanekaragaman spesies pohon asli, menanam pohon yang tepat di tempat yang tepat, dengan cara yang tepat, dan menjaganya dari waktu ke waktu, sehingga hutan dapat dipulihkan dalam jangka panjang, dengan segala manfaatnya untuk manusia, alam, dan iklim.
“Yang terpenting, dan ini adalah poin yang sering diabaikan, ini bukan hanya tentang karbon. Hutan menyimpan sebagian besar keanekaragaman hayati di bumi. Sebagai manusia, kita bergantung pada keanekaragaman hayati untuk kehidupan, mulai dari udara yang dihirup, air yang diminum, dan makanan yang dimakan,” tegas John Lotspeich, Eksekutif Direktur Trillion Trees Initiative, seperti dilansir World Economic Forum, Jumat (13/10/2023).
Menurut laporan State of the World's Forests baru-baru ini, hutan memiliki 60 ribu spesies pohon yang berbeda, 80 persen spesies amfibi, 75 persen spesies burung, dan 68 persen spesies mamalia di dunia. Namun, kesalahan yang sering terjadi adalah melihat restorasi hutan hanya dari sudut pandang penyerapan karbon.
“Kita harus beralih dari pandangan biner terhadap hutan jika kita ingin mulai memahami nilai hutan yang sebenarnya bagi umat manusia, dan oleh karena itu, kita harus merestorasinya,” kata Lotspeich.
Seperti yang telah dicatat oleh Program Lingkungan PBB, hutan juga menyediakan lebih dari 86 juta lapangan kerja hijau. Dari mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, lebih dari 90 persen bergantung pada hutan untuk makanan atau mata pencaharian.
Restorasi global dalam skala besar berarti memungkinkan inisiatif yang dipimpin oleh masyarakat dan digerakkan secara lokal untuk menciptakan mata pencaharian berkelanjutan, dan mempromosikan keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat yang bergantung padanya. Jika restorasi dan perlindungan ekosistem hutan yang kompleks menguntungkan mereka yang tinggal di dalam dan bergantung pada hutan, penanaman pohon menjadi restorasi hutan yang sesungguhnya, dan pada akhirnya misi penangkapan karbon jangka panjang bisa tercapai.
“Tidak ada waktu lagi untuk memperdebatkan apakah penanaman pohon dapat menyelesaikan krisis. Itu tidak akan terjadi dengan sendirinya. Kita juga harus segera mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,” kata dia.